Author Archive: Kontras Sulawesi
Mengurai Benang Kusut Terorisme dan Ekstremisme Kekerasan
Beberapa waktu terakhir, kasus serangan dan aksi teror kembali terjadi di Indonesia. Setidaknya telah terdapat dua kasus penyerangan, pertama adalah pengeboman Gereja Katedral di Makassar oleh pasangan suami istri, serta kasus kedua adalah penembakan di Mabes Polri oleh seorang perempuan. Kejadian ini terjadi pada Maret 2021 dan hanya berselang tiga hari dari serangan pertama dan kedua. Dua kasus ini memberikan peringatan bahwa sesungguhnya jaringan terorisme dengan menggunakan kekerasan masih terus ada.
Teror menggunakan kekerasan di Indonesia bukan hanya terjadi baru-baru ini. Sejak lama negara ini banyak terjadi kasus serupa, mulai dari daya rusak lemah hingga daya rusak kritikal seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom JW Marriot, Bom Kedubes Australia, serta Bom Gereja Santa Anna. Sejak tahun 2000–2021 telah terdapat 533 kasus aksi teror yang terjadi di Indonesia (Laporan Lab45.id, 2021). Kasus tersebut banyak membawa nama agama dan menyerang simbol tertentu.
Kasus-kasus teror dengan menggunakan kekerasan erat dikaitkan dengan violent extremism atau ekstremisme kekerasan. Dari berbagai referensi yang terhimpun, violent extremism didefinisikan sebagai sebuah tindakan mendorong, membenarkan, atau mendukung tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik, ideologis, ekonomi, sosial, atau agama. Kekerasan ini biasanya dianggap sebagai istilah yang lebih inklusif daripada terorisme, meskipun secara luas hampir sama penggunaannya.
Di berbagai negara violent extremism telah banyak terjadi. Violent extremism telah menggunakan berbagai simbol selama bertahun-tahun untuk memicu perasaan balas dendam dan kebencian. Kekerasan ini paling besar terjadi di Afghanistan, Nigeria, Suriah, Somalia, dan Yaman. Pelakunya berjejaring dan membentuk sebuah organisasi yang tujuannya memberikan teror kepada masyarakat dunia. Organisasi tersebut misalnya Negara Islam Irak dan Syam (NIIS), Jamaah Islamiah, Jamaah Asharut Khilafah (JAK) dan Jamaah Asharut Daullah (JAD) di Indonesia. Hingga sekarang jaringan tersebut belum bisa diputus rantai perkembangannya oleh Negara.
Violent extremism diyakini sangat berdampak buruk pada upaya perdamaian dan kemanusian. Negara harus bertanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak warga negaranya termasuk untuk menciptakan ruang yang aman dari kekerasan tersebut. Selain itu, organisasi masyarakat sipil juga harus berperan dalam mendorong perubahan kebijakan dan mendesiminasi pengetahuan mengenai pencegahan tindak kekerasan ekstremisme dan mempromosikan nilai kemanusian serta toleransi.
Diskusi ini dilaksanakan berdasarkan pembacaan pentingnya pendiskusian mengenai violent extremism agar mengenali kekerasan tersebut secara konseptual serta senantiasa memberikan perhatian dan mendorong peran negara guna memastikan lahirnya upaya yang komprehensif terkiat penanganan aksi ektremisme kekerasan di Indonesia.
Berikan Akses Bantuan Hukum terhadap Tersangka Penangkapan Sewenang-wenang dalam Aksi Penolakan UU Omnibus Law 22 Oktober 2020
Sekitar pukul 14.30 Wita, Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) Makassar bersama Tim Penasehat Hukum YLBHI-LBH Makassar dan KontraS Sulawesi mendatangi Polrestabes Kota Makassar perihal berkoordinasi dengan tersangka yang dituduh terlibat dalam aksi bentrokan pada 22 Oktober 2020 di depan Kampus Universitas Negeri Makassar (sektor Gunung Sari) dan juga dengan tujuan memasukkan surat Permintaan Penangguhan Penahanan.
Setiba di gerbang Polrestabes Kota Makassar, Tim Penasehat Hukum langsung mendatangi Petugas Piket dan menginformasikan bahwa Tim Kuasa Hukum akan berkoordinasi dengan para tersangka dengan maksud memberikan Akses bantuan Hukum. Namun, Tim Penasehat Hukum tidak diperkenankan untuk bertemu dengan para tersangka dengan alasan bahwa saat itu bukan jadwal besuk tersangka. Tim Kuasa Hukum kemudian menjelaskan bahwa maksud kedatangan kami tidak untuk menjenguk, tetapi bertemu dengan tersangkaan dengan maksud memberikan akses bantuan hukum. Kemudian anggota petugas piket berkoordinasi dengan Pimpinan Petugas Piket untuk berbicara dengan Tim Penasehat Hukum dan memberikan alasan bahwa saat ini Kami tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan para tersangka yang merupakan pemberi kuasa dari Tim Kuasa Hukum dengan dan mengatakan bahwa saat ini satuan tugas sedang fokus mengawal aksi demonstrasi dan petugas piket (bagian reskrim) tidak berada di lokasi karena turut mengawal aksi demonstrasi yang saat itu berlangsung di depan Polrestabes Kota Makassar berdasarkanj informasi dari Petugas Piket atas nama Fadly.
Selain itu, Tim Penasehat Hukum diminta untuk berkoordinasi dengan Penyidik para tersangka via Telephone dan setelah berbicara dengan penyidik, Ia (penyidik) menyampaikan bahwa saat itu sedang mengerjakan sesuatu dan tidak dapat ditemui. Sedangkan untuk bertemu dengan Klien silakan berkoordinasi dengan petugas Piket. Sehingga, Tim Penasehat Hukum kembali berkoordinasi dengan Pimpinan Piket. Kemudian Pimpinan Piket mengarahkan Tim Penasehat Hukum berbicara dengan anggota Reskrim yang kemudian memberikan penjelasan kepada Kami Penasehat hukum bahwa perintah Wakasat Reskrim untuk tidak mengizinkan bertemu dengan Tersangka yang menjadi klien.
Tim Penasehat Hukum kembali berkoordinasi dengan Petugas Piket atas Nama Fadly. Namun Ia memberikan jawaban yang sama bahwa atas perintah pimpinan kami tidak mengizinkan untuk bertemu dengan tersangka. Selain itu, Tim Penasehat Hukum juga tidak diberikan akses untuk memasukkan surat Permintaan Penangguhan Penahanan terhadap Klien Kami atas nama Supianto (ijul).
Pengahalang-halangan pemberian akses bantuan hukum bukan kali pertama yang dilakukan oleh Anggota Polrestabes Kota Makassar. Berdasarkan catatan YLBHI-LBH Makassar selama periode Oktober 2020, tercatat sebanyak 5 (lima) kali tidak memperoleh akses untuk memberikan bantuan hukum terhadap massa aksi ataupun orang yang dituduh terlibat dalam aksi demonstrasi saat berhadapan dengan Anggota Polrestabes Kota Makassar.
Tindakan penghalang-halangan pemberian akses bantuan hukum yang dilakukan oleh Anggota Polrestabes Kota Makassar merupakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan bertentangan dengan UUD 1945, UUD No.39 tahun 1999, UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat, UU No.16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, UU No.12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil Politik, serta Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Merespon situasi tersebut, Kontras Sulawesi bersama aliansimenuntut:
- Presiden RI dan KOMPOLNAS untuk mengevaluasi kinerja kepolisian Polrestabes Kota Makassar yang melakukan penghalangan pemberian akses bantuan hukum.
- KAPOLRESTABES Makassar untuk membuka akses bantuan hukum kepada seluruh tersangka yang ditangkap sewenag-wenang dalam aksi demostrasi 22 Oktober 2020;
- Komnas HAM agar melakukan investigasi terhadap dugaan pelanggaran HAM oleh aparat Polrstabes Makassar yang menghalang-halangi pemenuhan hak bantuan hukum.
Makassar, 26 Oktober 2020
Badan Pekerja Kontras Sulawesi
Asyari Mukrim
Seldy Arimsyah
Narahubung Tim Hukum :
Abdul Aziz Dumpa, S.H./0852-9999-9514
Muhammad Ansar, S.H./0812-4116-3839
Mengecam Penangkapan dan Penenggelaman Kapal Nelayan Kodingareng
RILIS PERNYATAAN SIKAP
MENGECAM PENANGKAPAN DAN PENENGGELAMAN KAPAL SECARA SEWENANG-WENANG OLEH POLAIR POLDA SULSEL TERHADAP NELAYAN KODINGARENG
Tindakan represif kembali dilakukan oleh Direktorat Kepolisian Perairan (Polair) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Setelah sebelumnya melakukan penangkapan kepada nelayan Kepulauan Kondigareng atas nama Manre (40), hari ini Polair kembali melakukan penangkapan dan penenggelaman kapal secara sewenang-wenang terhadap nelayan. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Minggu 23 Agustus 2020, saat puluhan nelayan Kepulauan Kodingareng, Kecamatan Sangkarang tetap melaut untuk mencari nafkah. Sekitar pukul 10.00 WITA Kapal Queen of Nederlands milik PT. Boskalis kembali melakukan aktivitas pengerukan pasir laut di wilayah tangkap nelayan.
Sekitar pukul 14.00 WITA, posisi antar kapal nelayan dan kapal pengeruk pasir laut semakin saling berdekatan. Tak berselang lama, puluhan anggota Polair Polda Sulsel datang dengan menggunakan satu kapal perang dan empat sekoci. Terjadi adu mulut antara pihak Dit Polair Polda Sulsel dengan para nelayan yang menolak ditangkap karena merasa tidak melakukan tindak pidana. Beberapa kali terdengar suara tembakan, Polair Polda Sulsel kemudian mengancam akan menenggelamkan kapal milik nelayan. Dari puluhan nelayan yang berada di lokasi yang kejadian, tiga orang nelayan atas nama Sahar, Baharuddin dan Faisal ditangkap dan dibawa ke Kantor Polair Polda Sulsel, sementara itu Direktorat Polair Polda Sulsel menenggelamkan dua kapal dan merusak sebuah kapal milik nelayan lainnya.
Tindakan represif berupa penangkapan yang dilakukan oleh Polair Polda Sulsel yang disertai dengan pengancaman, pengrusakan, dan penenggelaman kapal serta tidak menjelaskan alasan mengapa melakukan penangkapan patut diduga bertentangan pasal 11 ayat 1 huruf (b) Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu penangkapan yang tidak disertai dengan surat perintah penangkapan atau setidak-tidaknya menjelaskan alasan dilakukannya penangkapan juga patut diduga melanggar pasal 18 ayat (1) dan (3) KUHAP. Penangkapan sewenang-wenang dan pengruskan kapal milik nelayan ini juga mengancam sumber penghidupan keluarga nelayan dan berpotensi menjadi pelanggaran HAM yang sistematis.
Berdasarkan situasi tersebut, KontraS Sulawesi menyatakan sikap mengecam dan menuntut:
- Mendesak Kapolda Sulsel mencopot Direktur Polair Polda Sulsel atas tindakan represif yang dilakukannya terhadap nelayan Kepulauan Kodingareng.
- Direktorat Polair Polda Sulsel untuk membebaskan segera nelayan yang ditangkap sewenang-wenang dan hentikan segala bentuk dikriminalisasi nelayan Kodingareng.
- Hentikan segala bentuk tindakan represif terhadap nelayan yang menyampaikan aspirasi mereka terkait penolakan aktivitas penambangan pasir di wilayah tangkap nelayan Kodingareng.
Badan Pekerja KontraS Sulawesi
Asyari Mukrim
Nurdin Agraya
Hentikan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Masyarakat Adat Kajang
Rilis Peryataan Sikap
Hentikan Segala Bentuk Kekerasan dan Perampasan Hak dalam Konflik Agraria PT. PP Lonsum dan Petani dan Masyarakat Adat Kajang Bulukumba
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan serius yang dikutuk oleh masyarakat internasional dan dikatakan sebagai kejahatan “hostis humanis generis”, musuh umat manusia. Negara bertanggung jawab atas segala bentuk perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia rakyat Indonesia dari segala bentuk kejahatan kemanusiaan yang menjatuhkan dan merendahkan nilai-nilai kemanusian. Pemahaman dan keyakinan ini menjadi penting untuk didudukkan kembali dengan melihat situasi yang sedang dihadapi oleh petani dan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Sejak 24 September 2018, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) cabang Bulukumba, bersama petani dan masyarakat adat Ammatoa Kajang, dan warga dari beberapa desa menduduki wilayah HGU PT. London Sumatera (Lonsum) Bulukumba. Warga yang menduduki lahan, ada sekitar 800 orang, datang dari desa Bonto Biraeng, Tambangang, Bonto Mangiring, Tamatto, Bonto Sunggu, Sangkala, Karassing, Balleanging, dan Bonto Baji. Mereka mendirikan 40 tenda di lahan HGU sebagai tempat penginapan. Pendudukan itu dilakukan di kawasan Bukit Madu, desa Tamatto. Selama aksi berlangsung, mereka mengadakan diskusi dan berkunjung ke kantor Bupati Bulukumba untuk mendesak tim kecil yang sudah disepakati agar turun meninjau lokasi.
London Sumatera (Lonsum) Bulukumba terlibat kasus perampasan tanah ulayat masyarakat Adat Ammatoa Kajang seluas 2.853 Ha yang tersebar di 4 kecamatan, yaitu Kec. Kajang, Kec. Herlang, Kec.Ujungloe, Dan Kec. Bulukumpa sejak keberadaanya tahun 1919 . Berdasarkan Perda No. 9 Tahun 2015 dengan jelas dan terang membuktikan bahwa sebagian HGU milik PT.Lonsum Bulukumba berada dalam wilayah Adat Ammatoa Kajang yang dirampas oleh PT. Lonsum. Sampai saat ini, masyarakat adat Ammatoa Kajang masih terus berjuang mengeluarkan tanah mereka dari belenggu perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat adat Kajang Bulukumba.
Hari ini, Sabtu, 2 Maret 2019. PT. Lonsum melalui pihak Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT. PP London Sumatera Indonesia, Tbk cabang Palangsiang Estate memaksakan untuk melakukan penanaman dan pembongkaran rumah-rumah warga dengan melibatkan Aparat Kepolisan dan TNI didalamnya. Situasi ini kami anggap sebagai upaya politik pecah bela antara masyarakat dan karyawan PT. PP Lonsum yang berusaha memperkeruh kondisi dengan melakukan tindakan intimidasi serta kekerasan terhadap petani yang bertahan dalam lokasi pendudukan.
Dalam upaya mediasi yang dilakukan bersama pihak masyarakat, PT. PP London Sumatera dan pemerintah Kabupaten Bulukumba, PT. PP Lonsum terpaksa harus menunda penanamannya selama 3 Minggu. Dan saat ini, Lonsum tidak mau berkompromi lagi meskipun sebenarnya tahapan mediasi masih berjalan. Kamis 28 Februari 2019, Wakil Bupati dalam kunjungannya bersama Polres dan Dandim masih berjanji akan berupaya bertemu dengan Ammatoa sebagai Ketua Adat. Yang artinya proses mediasi ini sebenarnya belum selesai. Namun, Lonsum tidak memperdulikan hal tersebut.
Sebelumnya praktik perampasan lahan kembali terjadi pada hari Kamis, 17 Januari 2019. Lahan yang diklaim oleh masyarakat kembali ditanami karet oleh PT.Lonsum. Selain merusak, PT. Lonsum juga merusak 12 rumah kebun milik masyakat Adat Ammatoa Kajang. Hal serupa juga terjadi di lokasi Bonto Mangiring. Lahan yang telah ditanami jagung oleh masyarakat, belakangan ini kembali ditanami karet oleh PT. Lonsum Bulukumba, situasi yang semestinya tidak dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan terhadap masyarakat adat Kajang yang sedang menjalani proses mediasi.
Segala bentuk perampasan dan tindakan kekerasan politik terhadap masyarakat Adat dan masyarakat yang merasakan dampak perampasan lahan oleh PP. Lonsum adalah pengabaian terhadap UU Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menjamin keadilan atas sumber penghidupan bagi kemamakmuran rakyat. Lebih jauh, situasi ini menujukkan sikap pemerintah yang abai terhadap UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya yang mestinya memberikan jaminan bagi segenap rakyat Indonesia untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan atas sumber penghidupan yang layak dan bermartabat.
Kami juga mencatat, dengan melihat bagaimana masyarakat adat Ammatoa Kajang sebagai salah satu entitas sosial yang dirugikan dalam perampasan tanah ini, bahwa pemerintah melalui berbagai institusi yang terkait tidak menghormati Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang menjadi deklrasi universal terkait perlindungan Masyarakat Adat.
Berangkat dari situasi tersebut, Kontras Sulawesi menyatakan sikap keras mengutuk dan menuntut ;
- Pihak Kepolisian melalui Polda Sulawesi Selatan dan Polres Bulukumba untuk menindak tegas pekerja PT. PP Lonsum yang melakukan perusakan dengan membongkar paksa rumah-rumah warga. karena tidak memiliki hak dan wewenang.
- Memastikan proses hukum yang adil dan terbuka bagi masyarakat adat Kajang dan masyarakat yang melakukan pendudukan terhadap karyawan dan pekerja PT. PP Lonsum yg melakukan perusakan dengan membongkar rumah-rumah warga dan lahan masyarakat yang telah ditanami karena tidak memliki hak dan wewenang sesuai dengan kesepakatan mediasi.
- Menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba untuk bersikap tegas terhadap kesepakatan dalam proses mediasi serta terhadap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh PT. PP Lonsum.
- Menyelesiakan segera konflik agraria masyarakat adat Kajang dan masyarakat yang berhadapan dengan PT. PP London Sumatera serta segala tindakan kekerasan terhadap petani dan masyarakat adat Kajang, Kabupaten Bulukumba.
Melalui penyataan sikap ini, Kontras Sulawesi menyatakan bahwa segala bentuk penindasan dan penghancuran sumber penghidupan masyarakat Indonesia sebagai tindakan tidak manusiawi dan harus segera dihentikan.
Makassar, 2 Maret 2019
Badan Pekerja Kontras Sulawesi
Asyari Mukrim
Plt. Koordinator Kontras Sulawesi
Nahebiti: Menenun Kebersamaan dan Harapan Masa Depan bagi Stolen Children
Stolen Children Timor Leste di Wil. Sulsel dan Sulbar
Nahe Biti 2016: Menenun Kebersamaan dan Harapan Masa Depan.
Jelang 17 tahun pasca jajak pendapat yang dilakukan, dimana Timor Leste akhirnya menyatakan memisahkan diri dari Indonesia. Hasil jajak pendapat yang menujukkan bahwa sebahagian besar rakyat Timor-Timur memilih berpisah dari Indonesia dan merestorasi kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002 sebagai negara yang berdaulat, berbagai persoalan yang terjadi sejak militer Indonesia mulai menyerbu pada tahun 1975 dan dianeksasi sebagai propinsi yang ke 27 sampai saat ini belum juga terselesaikan.
Setelah konflik panjang 1975-1999, selama selama 24 tahun, masyarakat Timor Leste yang berada dalam sitasui konflik harus mengalami penderitaan, harus berpindah-pindah, mengalami kekerasan seksual, penyikaan dan pelanggaran lainnya. Situasi konflik yang terus berkecamuk menjadikan situasi tidak menguntungkan bagi mereka. Mereka terpisahkan dari keluarga dan sanak saudaranya. Hingga kini, keberadaan mereka masih banyak yang menjadi misteri bagi keluarga yang ditinggalkan. Beberapa bahkan telah dianggap meninggal dan dibuatkan pemakamannya. Sebuah persoalan terus membayangi dan belum sepenuhnya terselesaikan.
Pada tahun 2002, dibentuk sebuah Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) yang mulai menyelidiki pelanggaran yang dilakukan antara tahun 1975 sampai 1999 dan merekomendasikan langkah-langkah untuk mencegah pelanggaran di masa depan. Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) yang dioperasikan 2002-2005 telah mengumpulkan dan menelaah lebih dari 8.000 kesaksian yang berkaitan dengan periode konflik 1974-1999. CAVR memperkirakan bahwa sekitar 4.000 anak-anak yang diambil dari keluarga mereka dan dikirim ke Indonesia selama pendudukan. Pemindahan anak-anak adalah praktek sanksi oleh otoritas militer dan sipil, yang melibatkan individu dan kemudian institusi militer dan agama yang difasilitasi proses ini.
Dengan berlalunya waktu, anak-anak ini menjadi dewasa dan kemudian harus menyesuaikan diri dengan budaya, bahasa dan agama dari tempat mereka sekarang. Meskipun membawa nama baru, mereka masih ingat identitas Timor Timur mereka, potongan-potongan kenangan dari masa kecil mereka, asal kampung, nama desa mereka, serta nama dari orang tua mereka.
Beberapa cukup beruntung untuk dirawat dan dicintai keluarga, dibesarkan dan dididik sebagai orang Indonesia. Namun, banyak dari anak-anak rentan terhadap kekerasan, eksploitasi dan penelantaran. mayoritas tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke sekolah dan harus bekerja keras untuk bertahan hidup sendiri. Yang paling penting, beberapa dari mereka tidak yatim dan terus dicari oleh anggota keluarga mereka.
Sulawesi KontraS dan didukung oleh Asia Hukum dan Hak (AJAR) telah memulai proses mendokumentasikan korban di distrik berbagai lokasi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Proses dokumentasi bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar yang utuh dalam rangka mendorong upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dalam konteks solidaritas dan berdasarkan pada korban dan mendorong proses reunifikasi bersama-sama dengan lembaga-lembaga lain di kedua sisi negara; Indonesia dan Timor Leste.
Proses ini kemudian dikemas dalam upaya untuk mendorong pusat kegiatan bersama yang dikenal sebagai Rumah Belajar. Sulawesi KontraS menghargai semua upaya untuk menjadi bagian dari proses pendokumentasian, mengelolah dan mendorong partisipasi korban menjadi aktor dalam resolusi konflik kedepannya.
Konteks Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
Anak-anak yang diambil paksa, dicabut dari budayanya dan jauh dari keluarganya kemudian hidup dalam kurungan masalah yang semakin pelik. Mereka kemudian tersebar di berbagai daerah, salah satunya di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Banyak diantara mereka kemudian bergabung bersama para pengungsi yang datang pada tahun 1999. Mereka kini hidup dengan beragam profesi dan aktifitas yang tujuan utamanya ialah untuk bertahan hidup. Banyak diantara mereka kini tidak saling mengenal dan menyimpan kenangan atas budaya nenek moyang mereka.
Untuk sementara, berdasarkan hasil pendokumentasian yang dilakukan oleh KontraS Sulawesi bersama dengan Asia Justice and Right (AJAR) Jakarta, untuk Wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, telah ditemukan sebanyak 33 orang masuk kategori anak yang terpisah dari keluarganya antara tahun 1975-1999. Mereka tersebar diberbagai Kabupaten/Kota dengan beragam profesi dan aktifitas seperti petani, tenaga honorer di kantor pemerintahan, buruh bangunan, bekerja di toko, dan bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta.
Untuk menguatkan mereka yang selama ini terpisah jauh dari keluarga besarnya di Timor Leste, sebagai langkah awal setelah melakukan pendokumentasian adalah mencoba mempertemukan mereka melalui acara NAHEBITI 2016 yang dilaksanakan di Benteng Rotterdam, 27 Oktober 2016. NAHEBITI dalam istilah Timor Leste adalah salah satu upaya rekonsiliasi di tingkat akar rumput serta reintegrasi masyarakat secara aktif dengan mengaitkan konsep tradisional legal cultural di masyarakat lokal (misalnya cara penyelesaian konflik).
Lebih jauh, kegiatan NAHEBITI ini menjadi ruang reuni bagi korban yang selama ini terpisah-pisah di berbagai kabupaten/kota untuk saling bertemu, saling menguatkan, serta saling berbagi suka dan duka sehingga mereka secara perlahan mampu pulih dari luka pelanggaran HAM masa lalunya.
Rekomendasi
Rekomendasi dari berbagai pihak perlu didorong secara serius untuk membantu menyatukan kembali anakanak yang dicuri dari Timor-Leste dengan anggota keluarga mereka. Meskipun sekarang mereka telah dewasa, pengambilan mereka harus dilihat sebagai pelanggaran HAM yang masih berlangsung. Oleh karena itu, langkah nyata harus dibuat untuk membantu mereka bersatu kembali dengan keluarga mereka dan membangun kembali kehidupan mereka.
KontraS Sulawesi dengan Asia Justice and Right bersama korban, mengharapkan ke depan ada perhatian khusus pemerintah kedua negara baik itu Indonesia maupun Timor Leste. Termasuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi secara kekinian para korban (Stolen Children), baik itu mengenai kelengkapan administrasi dan kependudukan maupun hak-hak keperdataannya. Karena hampir semuanya mengalami masalah terkait adminduknya, sering terjadi perbedaan baik itu nama, tanggal lahir, dan nama orang tua di dokumen kependudukan mereka seperti di Ijazah, KTP, Akta Lahir, Kartu Keluarga, serta dokumen hukum lainnya. Selain itu, mereka berharap pemerintah kedua negara juga memberikan kemudahan ketika para korban ingin bertemu keluarganya di Timor Leste seperti bebas ‘visa’ masuk di Timor Leste.
Makassar, 27 Oktober 2016
KontraS Sulawesi
Badan Pekerja
Nasrum, SH
Kordinator Kontras Sulawesi
Asyari Mukrim
KaBiro Penelitian dan Pengembangan