Stolen Children Timor Leste di Wil. Sulsel dan Sulbar
Nahe Biti 2016: Menenun Kebersamaan dan Harapan Masa Depan.
Jelang 17 tahun pasca jajak pendapat yang dilakukan, dimana Timor Leste akhirnya menyatakan memisahkan diri dari Indonesia. Hasil jajak pendapat yang menujukkan bahwa sebahagian besar rakyat Timor-Timur memilih berpisah dari Indonesia dan merestorasi kemerdekaannya pada tanggal 20 Mei 2002 sebagai negara yang berdaulat, berbagai persoalan yang terjadi sejak militer Indonesia mulai menyerbu pada tahun 1975 dan dianeksasi sebagai propinsi yang ke 27 sampai saat ini belum juga terselesaikan.
Setelah konflik panjang 1975-1999, selama selama 24 tahun, masyarakat Timor Leste yang berada dalam sitasui konflik harus mengalami penderitaan, harus berpindah-pindah, mengalami kekerasan seksual, penyikaan dan pelanggaran lainnya. Situasi konflik yang terus berkecamuk menjadikan situasi tidak menguntungkan bagi mereka. Mereka terpisahkan dari keluarga dan sanak saudaranya. Hingga kini, keberadaan mereka masih banyak yang menjadi misteri bagi keluarga yang ditinggalkan. Beberapa bahkan telah dianggap meninggal dan dibuatkan pemakamannya. Sebuah persoalan terus membayangi dan belum sepenuhnya terselesaikan.
Pada tahun 2002, dibentuk sebuah Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) yang mulai menyelidiki pelanggaran yang dilakukan antara tahun 1975 sampai 1999 dan merekomendasikan langkah-langkah untuk mencegah pelanggaran di masa depan. Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor Leste (CAVR) yang dioperasikan 2002-2005 telah mengumpulkan dan menelaah lebih dari 8.000 kesaksian yang berkaitan dengan periode konflik 1974-1999. CAVR memperkirakan bahwa sekitar 4.000 anak-anak yang diambil dari keluarga mereka dan dikirim ke Indonesia selama pendudukan. Pemindahan anak-anak adalah praktek sanksi oleh otoritas militer dan sipil, yang melibatkan individu dan kemudian institusi militer dan agama yang difasilitasi proses ini.
Dengan berlalunya waktu, anak-anak ini menjadi dewasa dan kemudian harus menyesuaikan diri dengan budaya, bahasa dan agama dari tempat mereka sekarang. Meskipun membawa nama baru, mereka masih ingat identitas Timor Timur mereka, potongan-potongan kenangan dari masa kecil mereka, asal kampung, nama desa mereka, serta nama dari orang tua mereka.
Beberapa cukup beruntung untuk dirawat dan dicintai keluarga, dibesarkan dan dididik sebagai orang Indonesia. Namun, banyak dari anak-anak rentan terhadap kekerasan, eksploitasi dan penelantaran. mayoritas tidak memiliki kesempatan untuk pergi ke sekolah dan harus bekerja keras untuk bertahan hidup sendiri. Yang paling penting, beberapa dari mereka tidak yatim dan terus dicari oleh anggota keluarga mereka.
Sulawesi KontraS dan didukung oleh Asia Hukum dan Hak (AJAR) telah memulai proses mendokumentasikan korban di distrik berbagai lokasi di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Proses dokumentasi bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar yang utuh dalam rangka mendorong upaya untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu dalam konteks solidaritas dan berdasarkan pada korban dan mendorong proses reunifikasi bersama-sama dengan lembaga-lembaga lain di kedua sisi negara; Indonesia dan Timor Leste.
Proses ini kemudian dikemas dalam upaya untuk mendorong pusat kegiatan bersama yang dikenal sebagai Rumah Belajar. Sulawesi KontraS menghargai semua upaya untuk menjadi bagian dari proses pendokumentasian, mengelolah dan mendorong partisipasi korban menjadi aktor dalam resolusi konflik kedepannya.
Konteks Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat
Anak-anak yang diambil paksa, dicabut dari budayanya dan jauh dari keluarganya kemudian hidup dalam kurungan masalah yang semakin pelik. Mereka kemudian tersebar di berbagai daerah, salah satunya di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Banyak diantara mereka kemudian bergabung bersama para pengungsi yang datang pada tahun 1999. Mereka kini hidup dengan beragam profesi dan aktifitas yang tujuan utamanya ialah untuk bertahan hidup. Banyak diantara mereka kini tidak saling mengenal dan menyimpan kenangan atas budaya nenek moyang mereka.
Untuk sementara, berdasarkan hasil pendokumentasian yang dilakukan oleh KontraS Sulawesi bersama dengan Asia Justice and Right (AJAR) Jakarta, untuk Wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, telah ditemukan sebanyak 33 orang masuk kategori anak yang terpisah dari keluarganya antara tahun 1975-1999. Mereka tersebar diberbagai Kabupaten/Kota dengan beragam profesi dan aktifitas seperti petani, tenaga honorer di kantor pemerintahan, buruh bangunan, bekerja di toko, dan bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta.
Untuk menguatkan mereka yang selama ini terpisah jauh dari keluarga besarnya di Timor Leste, sebagai langkah awal setelah melakukan pendokumentasian adalah mencoba mempertemukan mereka melalui acara NAHEBITI 2016 yang dilaksanakan di Benteng Rotterdam, 27 Oktober 2016. NAHEBITI dalam istilah Timor Leste adalah salah satu upaya rekonsiliasi di tingkat akar rumput serta reintegrasi masyarakat secara aktif dengan mengaitkan konsep tradisional legal cultural di masyarakat lokal (misalnya cara penyelesaian konflik).
Lebih jauh, kegiatan NAHEBITI ini menjadi ruang reuni bagi korban yang selama ini terpisah-pisah di berbagai kabupaten/kota untuk saling bertemu, saling menguatkan, serta saling berbagi suka dan duka sehingga mereka secara perlahan mampu pulih dari luka pelanggaran HAM masa lalunya.
Rekomendasi
Rekomendasi dari berbagai pihak perlu didorong secara serius untuk membantu menyatukan kembali anakanak yang dicuri dari Timor-Leste dengan anggota keluarga mereka. Meskipun sekarang mereka telah dewasa, pengambilan mereka harus dilihat sebagai pelanggaran HAM yang masih berlangsung. Oleh karena itu, langkah nyata harus dibuat untuk membantu mereka bersatu kembali dengan keluarga mereka dan membangun kembali kehidupan mereka.
KontraS Sulawesi dengan Asia Justice and Right bersama korban, mengharapkan ke depan ada perhatian khusus pemerintah kedua negara baik itu Indonesia maupun Timor Leste. Termasuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi secara kekinian para korban (Stolen Children), baik itu mengenai kelengkapan administrasi dan kependudukan maupun hak-hak keperdataannya. Karena hampir semuanya mengalami masalah terkait adminduknya, sering terjadi perbedaan baik itu nama, tanggal lahir, dan nama orang tua di dokumen kependudukan mereka seperti di Ijazah, KTP, Akta Lahir, Kartu Keluarga, serta dokumen hukum lainnya. Selain itu, mereka berharap pemerintah kedua negara juga memberikan kemudahan ketika para korban ingin bertemu keluarganya di Timor Leste seperti bebas ‘visa’ masuk di Timor Leste.
Makassar, 27 Oktober 2016
KontraS Sulawesi
Badan Pekerja
Nasrum, SH
Kordinator Kontras Sulawesi
Asyari Mukrim
KaBiro Penelitian dan Pengembangan