RAKYAT BERJUANG SENDIRI DAN NEGARA SIBUK PEMILU DEMI PERPANJANGAN TANGAN OLIGARKI

Reportase HAM Akhir Tahun 2023 Kontras Sulawesi

Beragam catatan, pengalaman, dan refleksi coba dirangkum dalam Reportase HAM Akhir Tahun 2023 oleh Kontras Sulawesi. Berbagai persoalan menjadi perhatian, pada dasarnya tidak ada yang fenomena baru dari upaya negara yang masih terus melanggengkan impunitas dan segala bentuk represi dan perampasan hak dasar warga negara. 

Sepanjang tahun 2023, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan  (KontraS) Sulawesi menyoroti sejumlah persoalan berkaitan dengan penerapan dan dilematika Hak Asasi Manusia di Sulawesi. Beberapa isu diantaranya lika-liku penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, otoritarianisme digital, pembungkaman suara-suara demokrasi, isu krisis pengungsi, konflik agraria, hingga korban konflik Timor Leste di Indonesia.

Di tengah semua kerumitan ini, Kontras Sulawesi meyakini bahwa pada akhirnya kekuatan massa rakyat yang akan menjadi kekuatan penting untuk terus mengingatkan, menentang, hingga mengubah situasi ini demi masa depan kemanusiaan untuk semua. Membangun gerakan politik massa yang berpegang teguh pada nilai-nilai demokrasi dan HAM untuk negara yang lebih bermartabat. 

Karena pada akhirnya, rakyat berjuang sendiri dan negara hanya sibuk pemilu demi perpanjangan tangan oligarki.

Silahkan akses Reportase HAM 2023 Kontras Sulawesi.

Sidang Pemeriksaan Saksi Kedua Pengadilan HAM Peristiwa Paniai 2014: Ajang Penyudutan Warga Sipil dan Korban

Senin (3 Oktober 2022) ialah hari penyelenggaraan Sidang ketiga Pengadilan HAM Peristiwa Paniai 2014 di Pengadilan Negeri Makassar. Sidang kali ini merupakan sidang kedua dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Di kesempatan ini, JPU mendatangkan 3 saksi yang layaknya sidang pekan lalu, hanya berasal dari Kepolisian di wilayah Paniai saat peristiwa terjadi di 7 – 8 Desember 2014. Kondisi ini memperlebar ketimpangan narasi yang bergulir di Pengadilan sejauh ini sebab hanya diisi versi aparat negara.

Persidangan yang menghadirkan Saksi Petrus Gawe Boro (Kapolsek Paniai Timur), Saksi Sukapdi (Kabag Ops Polres Paniai) dan Saksi Mansur (Kasat Reskrim Polres Paniai) berisi penggalian keterangan yang berupaya menggiring narasi pembenaran dari apa yang dilakukan oleh TNI-POLRI saat peristiwa terjadi. Pembenaran ini dimunculkan dengan menjadikan keterangan-keterangan mengenai situasi aksi massa bahkan hingga perilaku warga yang tentu tidak relevan dan tidak bisa dijadikan validasi dari tindakan yang tidak terukur sehingga terjadi pelanggaran HAM berat di Paniai pada delapan tahun silam.

Narasi pertama yang berulang kali diulas adalah dugaan bahwa ada tembakan senapan dari arah pegunungan yang memicu mobilisasi massa ke Markas Koramil 1705-02/Enarotali. Berbeda dengan informasi di Dakwaan yang menyatakan bahwa suara tembakan senapan bersumber dari awah bawah ujung jalan ke arah Lapangan Karel Gobay. Keterangan yang menurut para saksi bersumber dari Wakapolres Paniai ini juga berisi dugaan bahwa tembakan berasal dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Namun saat dikonfirmasi oleh Majelis Hakim, para saksi memberikan keterangan tidak bertemu dengan anggota KKB di sekitar tempat kejadian perkara. Bergulirnya narasi ini patut dianggap sebagai sebuah upaya mengaburkan fakta penting dibalik peristiwa.

Narasi kedua yang dikemukakan untuk mengaburkan informasi dari peristiwa ialah perihal perilaku warga pada peristiwa di 7 Desember 2014 yang dijadikan dalih tindak penganiayaan oleh Anggota TNI. Kelompok anak muda yang sebelas diantaranya kemudian menjadi korban penganiayaan oleh Anggota TNI Timsus Yonif 753/AVT dinarasikan sebagai pelaku peminta sumbangan secara paksa dan juga tengah berada dalam kondisi mabuk akibat konsumsi minuman beralkohol. Keterangan permintaan sumbangan tidak ditemui dalam Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat terbitan Komnas HAM. Dalam dokumen yang meringkas Laporan Penyelidikan Komnas HAM tersebut, kelompok anak muda yang tengah mempersiapkan Peringatan Natal waktu itu hanya menegur pelaku untuk menyalakan lampu motor dan berhati-hati melewati jalan. Keterangan permintaan sumbangan memang terdapat dalam dokumen dakwaan, tapi tidak disertai keterangan tambahan mengenai bentuk paksaan nominal hingga keadaan anak muda tersebut. Kondisi-kondisi kelompok anak muda yang dianggap terdapat pada peristiwa tersebut jika benar pun tidak serta merta dapat dijadikan alasan atau pembenaran untuk melakukan tindakan penganiayaan. Lagi pula, keterangan saksi tersebut hanya menduga dan tidak melihat langsung peristiwa permintaan sumbangan yang diduga dilakukan dengan kekerasan tersebut. Saksi hanya mendengar dari keterangan Anggota TNI.

Narasi ketiga ialah soal dugaan kekerasan yang dilakukan oleh massa aksi saat pemalangan jalan di Pondok Natal Gunung Merah atau di Lapangan Karel Gobay. Dalam persidangan justru terungkap minimnya profesionalitas Kepolisian yakni Kapolsek Paniai Timur dan sejumlah anggota dari Kapolres Paniai dalam menangani aksi massa. Ketidakprofesionalan dapat dilihat dari tidak diterapkannya ketentuan yang proporsional dalam menangani aksi massa sebagaimana yang diatur di Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan juga ketentuan yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pemeriksaan terhadap Saksi Mansur juga terungkap mandeknya proses hukum terhadap sejumlah Laporan Polisi (LP) atas peristiwa hukum seperti pengrusakan mobil operasional Kepolisian dan upaya penyerangan terhadap Saksi Sukapdi yang juga dicantumkan dalam kronologi Dakwaan JPU. Fakta dari rangkaian klaim peristiwa yang terjadi termasuk unsur pelaku dan motif menjadi sangat patut untuk dipertanyakan.

Dari keterangan saksi-saksi tersebut, Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk mengamankan aksi massa tidak melakukan tindakan yang terukur berdasarkan perkap sebagaimana disebutkan di atas, pihak Kepolisian memilih untuk mundur untuk mengamankan polsek dan membiarkan aksi massa berakhir ricuh hingga melempari kantor-kantor setelah melewati Lapangan Karel Gobay. Dengan demikian, Kepolisian membiarkan kontak langsung antara massa aksi dengan pihak TNI yang berdampak pada penembakan yang mengakibatkan jatuhnya 4 korban jiwa dan setidaknya 10 korban luka-luka. Berdasarkan Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat terbitan Komnas HAM bahwa terdapat koordinasi yang buruk antara TNI dan Polri di Papua, TNI di Papua merupakan bentuk perbantuan kepada tugas Kepolisian. Sementara keterangan saksi-saksi menerangkan bahwa Polri sama sekali tidak meminta bantuan kepada TNI dan kepolisian pun tidak memegang komando atas pengamanan untuk Peristiwa Paniai 2014, masing-masing instansi hanya mengamankan wilayah masing-masing. Selain gagal membuat situasi menjadi aman bagi massa aksi, Kepolisian juga tercatat oleh Komnas HAM melakukan upaya penghalangan keadilan (obstruction of justice) dalam peristiwa ini yang tentu perlu ditempuh pula proses penegakan hukumnya.

Penyudutan warga sipil dan korban dari Peristiwa Paniai yang menjadi salah satu bahasan dominan dalam Pengadilan sejauh ini bisa terjadi sebab gagalnya JPU melibatkan partisipasi substansial dari publik utamanya saksi dari penyintas dan keluarga korban serta warga sipil. Publik punya hak untuk mengetahui narasi dari sisi lain yakni dari penyintas, keluarga korban dan perwakilan warga sipil berkenaan dengan Peristiwa Paniai 2014. Dengan situasi narasi seperti saat ini, korban kembali mendapat ketidakadilan seperti stigma buruk yang dijadikan dalih para aparat untuk melakukan pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM harus menjadi ruang bagi suara korban dan publik serta Negara untuk mengoreksi dan mengevaluasi individu dan institusi Negara agar tidak lagi memproduksi pelanggaran HAM di hari ini dan masa depan.

 

3 Oktober 2022

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014

Pemantauan dan Analisa Pengadilan HAM Pertama Kasus Paniai: “Hanya Tuntut Satu Orang di Kasus Paniai, Jaksa Sedang Lindungi Siapa?”

Setelah 18 tahun mati suri Pengadilan HAM di Indonesia kembali bekerja. Hari ini, Rabu, 21 September 2022, Pengadilan HAM kembali diaktifkan dimana sidang pertama Pengadilan HAM dilangsungkan di PN Makassar untuk mengadili kasus Paniai 2014. Agenda persidangan ialah pembacaan dakwaan terhadap satu-satunya Terdakwa Mayor Inf. (Purn.) Isak Sattu (IS), purnawirawan TNI-AD Mantan Perwira Penghubung Kodim 1705/Paniai pada Kabupaten Paniai. Dakwaan yang didakwakan kepada pelaku berupa dakwaan kumulatif : Kesatu, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; dan kedua, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Koalisi memahami bahwa berdasarkan dakwaan tersebut, pertama-tama IS didakwa dengan tanggung jawab pidana atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya (command responsibility), yaitu dalam melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal pidana mati. Kedua, IS didakwa atas command responsibility juga atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan, dengan ancaman pidana minimal 10 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara.

Koalisi menemukan adanya beberapa kejanggalan. Pertama, Jaksa Agung terlihat jelas menetapkan pelaku tunggal dalam dalam konstruksi dakwaan kasus Paniai 2014 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi melalui “serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil”. Serangan tersebut pastinya melibatkan lebih dari satu pelaku. Hukum dan standar internasional yang berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dengan jelas menyatakan bahwa baik mereka yang memiliki tanggung jawab komando maupun mereka yang secara langsung melakukan kejahatan harus dimintai tanggung jawab pidana.

Penyelidikan Komnas HAM membagi para terduga pelaku dalam beberapa kategori, yaitu pelaku lapangan, komando pembuat kebijakan, komando efektif di lapangan, dan pelaku pembiaran. Secara logika, penanggung jawab komando bertanggungjawab atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh bawahannya.

Kami mengingatkan bahwa konteks pertanggungjawaban komando tidaklah berhenti pada orang yang memberikan perintah saja, akan tetapi juga termasuk pertanggungjawaban atasan yang tidak mencegah atau menghentikan tindakan pelanggaran HAM yang berat atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana Pasal 42 UU Pengadilan HAM. Oleh karena itu sudah sepatutnya dakwaan tidak hanya menyasar IS sebagai Perwira Penghubung tetapi juga menyasar pada atasan yang dalam hal ini telah diduga tidak mencegah atau menghentikan dan menyerahkan pelaku kepada pihak berwajib. Pada titik ini, Jaksa tidak boleh terkesan melindungi pelaku dengan tidak menuntut pelaku yang jelas sangat potensial melanggar HAM. Sudah sepatutnya Jaksa turut menuntut pimpinan TNI yang bertanggungjawab dan kepala Operasi Aman Matoa V sebagaimana juga terang dijelaskan dalam laporan penyelidikan Komnas HAM.

Lebih dari itu, itu seharusnya Penuntut memulai dengan membuktikan pelaku lapangan telah melakukan kejahatan kemanusiaan. Apabila Penuntut memulai dari penanggung jawab komando, maka seandainya penanggung jawab komando diputus bebas oleh Pengadilan, mengakibatkan pelaku lapangan kemudian tidak lanjut didakwa oleh Penuntut.

Kedua, Koalisi mengingatkan kembali pernyataan Komnas HAM yang pernah mengangkat adanya obstruction of justiceuntuk dapat menjerat pertanggungjawaban pidana yang melibatkan pejabat TNI di atas Terdakwa IS. Koalisi mempertanyakan mengapa tindak pidana perintangan keadilan ini luput dari proses hukum saat ini. Dengan dasar itu, Koalisi menilai, dakwaan Kejaksaan Agung telah mengaburkan konstruksi hukum kejahatan terhadap kemanusiaan di kasus ini, salah satunya dengan hanya menetapkan IS sebagai satu-satunya terdakwa yang bahkan akan merugikan hak asasi dirinya karena bisa saja sebatas dijadikan “kambing hitam”.

Ketiga, walau Koalisi menghormati bahwa tidak ditahannya Terdakwa memang merupakan diskresi penegak hukum (Penyidik/Penuntut/Majelis Hakim) di tingkat pemeriksaannya masing-masing, Koalisi menyayangkan efek dari keputusan ini. Memang di satu sisi, menggunakan seminimal mungkin upaya paksa seperti penahanan adalah peradilan yang baik. Namun di sisi lain, masyarakat Indonesia dapat melihat bahwa pada kenyataannya penahanan lebih sering diberikan kepada Tersangka/Terdakwa yang berasal dari kalangan masyarakat kecil dengan tindak pidana yang lebih sederhana daripada kejahatan terhadap kemanusiaan.

Keempat, Koalisi juga menyayangkan bahwa keamanan di luar persidangan juga masih menjadi permasalahan yang tidak ditangani. Pertama, sehari sebelum sidang Pengadilan HAM Paniai ini digelar, Selasa, 20 September 2022 pukul 13.30 WITA lima orang dengan pakaian biasa dan satu orang dengan seragam polisi diduga pihak Intel Polresta Makassar meneror dan mengintimidasi dengan mendatangi rumah kontrakan mahasiswa Papua khususnya mahasiswa asal Paniai. Mereka menanyakan apakah ada aksi demo Pengadilan HAM Berat Paniai serta berjaga di depan pintu masuk rumah kontrakan.

Kelima, Koalisi menilai Negara dalam hal ini Mahkamah Agung dan Pengadilan tidak memberikan perlindungan yang layak kepada Majelis Hakim. Bila dibandingkan dengan tiga Pengadilan HAM yang sebelumnya, kondisi perlindungan yang tidak layak ini terjadi bagi pengadilan Terdakwa IS yang saat ini setelah menjadi purnawirawan dan tidak memegang jabatan dengan banyak pasukan, Dengan kondisi demikian, terlihat MA serta PN tidak siap, jika tidak dapat dikatakan tidak dimaksudkan, untuk melakukan perlindungan hakim maupun pengunjung sidang apabila Terdakwa adalah aparat aktif dengan jabatan tinggi.

Kami mendesak MA dan PN memberikan perlindungan yang layak bagi Majelis Hakim serta saksi, berkoordinasi dengan Kapolresta Makassar juga agar menjamin keamanan terutama bagi OAP yang berada di Makassar berkaitan dengan persidangan ini.

Disamping itu kami juga mendesak Jaksa Agung mengusut tuntas seluruh pelaku, selain IS, yang bertanggung jawab langsung atau yang memegang tanggung jawab komando dan membawa mereka ke peradilan. Dengan hanya dituntutnya satu orang dalam persidangan kali ini, akhirnya kami perlu bertanya: Jaksa sedang melindungi siapa?. 

Makassar, 21 September 2022

Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014

Mendukung Kuasa Rakyat Melawan Kuasa Tambang di Wawonii : Hentikan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Warga Penolak Tambang Wawonii

Rilis Pernyataan Sikap Kontras Sulawesi

Kronologis Singkat

Situasi konflik antara masyarakat Wawonii penolak tambang dengan perusahaan tambang makin memanas. Setelah berkali-kali mengalami desakan dan berbagai upaya perlawanan terhadap aktivitas pertambangan yang mengancam wilayah kelola masyarakat sejak 2019. Gerakan perlawanan ini didominasi oleh penolakan kelompok ibu-ibu yang menolak keras aktivitas masuknya alat berat pertambangan nikel yang diduga milik perusahaan PT Gema Kreasi Perdana yang menerobos paksa dengan dikawal aparat kepolisian yang akan mulai menggusur lahan-lahan warga.

Tensi konflik kembali mencuat pada hari Kamis, tanggal 3 Maret 2022, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group kembali melakukan penyerobotan lahan milik warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Penyerobotan lahan yang menggunakan excavator oleh PT GKP ini melibatkan aparat kepolisian bersenjata lengkap dan TNI.

Data yang terhimpun dari berbagai aliansi yang mendukung advokasi masyarakat Wawonii mencatatan bahwa penerobosan oleh PT GKP hari ini terjadi di lahan milik La Dani dan Sahria, warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang enggan menyerahkan lahannya untuk perusahaan. Melansir data YLBHI yang menyatakan bahwa upaya penyerobotan ini bukanlah yang pertama, melainkan telah lima kali dilakukan, sejak: pertama, Selasa, 9 Juli 2019, sekitar Pkl. 11.00 Wita di lahan milik Ibu Marwah; kedua, Selasa, 16 Juli 2019, sekitar Pkl. 15.00 di lahan milik Bapak Idris; ketiga, Kamis, 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm); keempat, pada Selasa, 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.

Penyerobotan berulang ini sebagai bentuk upaya paksa PT GKP dalam membangun jalan tambang menuju lahan yang sudah dibebaskan dan konsesi tambang. Akibatnya, tanaman perkebunan produktif warga rusak parah, sementara warga yang melawan diintimidasi dan dikriminalisasi hingga mendekam di sel tahanan dan di penjara.

Pihak perusahaan pun mengklaim sepihak lahan milik La Dani dan Sahria, bahwasannya lahan itu milik seorang warga (P) dan telah dibebaskan oleh pihak perusahaan. Padahal, lahan-lahan itu telah dikelola selama tiga generasi oleh keluarga La Dani dan Sahria, juga selalu membayar pajak atas tanah setiap tahunnya. Bahkan, jauh sebelum PT GKP masuk, tak pernah ada saling klaim atas tanah, apalagi menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

Demikian juga dengan 28 warga yang dikriminalisasi. Polisi, dengan dalih laporan dari pihak perusahaan, justru menyasar warga terlapor yang memiliki lahan di Roko-Roko Raya. Pada 24 Januari 2022 kemarin, misalnya, polisi menangkap tiga warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, masing-masing atas nama Hurlan, dan Hastoma, dan La Dani. Pasca ditangkap dan ditahan di Polda Sultra, perusahaan melakukan penyerobotan di lahan La Dani pada Selasa, 1 Maret dan Kamis, 3 Maret hari ini.

Praktek Kekerasan oleh Perusahaan Tambang dan Pengabaian oleh Aparat Kepolisian dan TNI

Kontras Sulawesi melihat bahwa tindakan yang terjadi hari ini ialah manifetasi dari upaya peminggiran masyarakat dari ruang kelola hidup mereka atas nama investasi pertambangan yang disertai dengan tindakan kekerasan dan upaya perampasan ruang hidup secara sistematis. Kontras Sulawesi mengecam segala bentuk tindakan brutalitas dan kekerasan terhadap warga negara yang hak-haknya diabaikan oleh negara.

Tindakan kekerasan dan ancaman di lapangan semakin meningkatkan tensi konflik dengan penggunaan kekuatan alat keamanan negara secara berlebihan dan sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM seperti perlakuan intimidatif, tindakan kriminalisasi, menimbulkan rasa takut dan trauma berlebih, serta perlakuan tidak manusiawi lainnya.

Keterlibatan dan keberpihakan aparat keamanan baik dari institusi Polri maupun TNI dalam mengamankan kepentingan bisnis tambang PT GKP di Wawonii juga tidak terlepas instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kapolri mengenai pengamanan bisnis/investasi di berbagai daerah.

Tindakan penyerobotan berulang tanpa ada tindakan hukum apapun menunjukkan betapa lemahnya upaya penegakan hukum bagi masyarakat ketika aparat kepolisian dan TNI cenderung menjadi alat untuk menjamin kelancaran aktivitas korporasi tambang, dari pada mengayomi dan melindungi rakyat itu sendiri.

Demikian juga pemerintah pusat dan daerah, alih-alih menindak tegas tindak kejahatan PT GKP, justru turut memfasilitasi, bahkan ada upaya pembiaran sehingga warga berjuang sendirian menyelamatkan tanah-ruang hidupnya. Hal ini terlihat dari langkah Pemkab Konkep yang telah meneken MOU (memorandum of understanding) dengan PT GKP ihwal komitmen investasi di Pulau Wawonii pada Kamis, 30 September 2021. MoU ini merupakan tindak lanjut pasca Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan disahkan 2021 lalu, dimana sudah ada alokasi ruang untuk investasi pertambangan di pulau kecil itu.

Tak berhenti di situ, Pemkab Konkep melalui Wakil Bupati bahkan ikut berupaya bernegosiasi dengan warga yang menolak, dengan tujuan perusahaan diberi ruang untuk masuk dan mulai menambang.

Tindakan pembiaran dan upaya mendorong investasi tambang di pulau kecil Wawonii, telah mengabaikan hak konstitusi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PUU-VIII/2010. Dampaknya, masyarakat kehilangan akses dan melintas ruang hidupnya, terutama terkait aktivitas tambang di daratan yang menghancurkan perkebunan produktif warga, juga pembangunan pelabuhan khusus di pesisir dalam menunjang pertambangan di daratan yang, sesungguhnya tidak mendapat rekomendasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Sultra, berikut tidak sesuai peruntukan ruang.

Lebih lanjut, beroperasinya PT GKP di pulau kecil Wawonii akan berdampak pada kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan sehat, berikut ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, lamun dll) akan ikut tercemar dan rusak.

Situasi Krisis Agraria di Wawonii dan Semakin Kuatnya Kuasa Tambang Meminggirkan Rakyat dengan Kekerasan dan Perampasan Ruang Hidup

Melihat situasi di berbagai wilayah termasuk yang terjadi di Wawonii dimana masyarakat berhadapan langsung dengan korporasi pertambangan dengan berbagai tindakan kekerasan, perampasan ruang hidup, hingga pelanggaran hak asasi lainnya menujukkan bahwa saat ini kita tengah menghadapi kriris agraria yang didorong oleh semakin kuatnya kuasa korporasi tambang dan didukung oleh praktek pembiaran aparat keamanan dan pemerintah yang meminggirkan dan merampas ruang hidup mereka.

Melihat hal tersebut, Kontras Sulawesi menyatakan sikap:

  1. Mendesak Menteri ESDM untuk segera hentikan aktivitas PT GKP, evaluasi segera, dan cabut IUP yang telah diterbitkan;
  2. Mendesak Menteri KKP untuk segera mengevaluasi Pembangunan pelabuhan khusus lewat penimbunan pantai yang merombak Mangrove dan terumbu karang;
  3. Mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari untuk segera tarik seluruh aparat kepolisian dari lokasi;
  4. Mendesak Kapolri RI untuk menindak-tegas Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari yang membiarkan pasukannya mengkawal PT GKP dalam melakukan penerobosan lahan milik warga;
  5. Mendesak Pangdam XIV/Hasanuddin untuk menarik seluruh pasukannya dan menghukum dengan maksimal atas upaya tindakan perbantuan penyerobotan lahan di pulau Wawonii oleh perusahaan tambang PT. GKP;
  6. Mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komnas Anak untuk segera lakukan investigasi atas dugaan tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan PT GKP dan aparat kepolisian di Sulawesi Tenggara;
  7. Mendesak Gubernur Sulawesi Tenggara dan Bupati Konawe Kepulauan untuk menjalankan amanat UU nomor 7 tahun 2016 terkait Perlindungan dan Pemberdayaan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil;

Kontras Sulawesi juga secara tegas menyatakan mendukung perlawanan perlawanan warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara terhadap aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group. Kuasa rakyat Wawonii melawan kuasa tambang adalah kekuatan penting untuk memastikan warga untuk tetap dapat menikmati ruang hidup mereka secara layak.

Makassar, 3 Maret 2022

Asyari Mukrim

Kontras Sulawesi

CATATAN HARI HAM INTERNASIONAL 2021: MELAWAN KEPUNGAN REPRESIFITAS OLIGARKI DAN PANDEMI IMPUNITAS DI INDONESIA

Refleksi atas Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Sulawesi

Tahun 2021 menjelang berakhir. Di pengujung tahun ini, Kontras Sulawesi memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 10 Desember 2021 dengan menyajikan catatan singkap terkait situasi dan kondisi pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di wilayah Sulawesi secara umum sepanjang tahun 2021. Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung dan merampas hak-hak dasar rakyat Indonesia. Kami menuliskan catatan singkat kami terkait situasi HAM yang kami lihat sebagai situasi yang tidak punya arah dan komitmen oleh negara.

Dalam satu tahun ini, tren kekerasan yang dilakukan oleh negara masih terus berlangsung di berbagai sektor isu. Upaya penegakan HAM dalam satu tahun terakhir cenderung diabaikan, hal ini ditandai dengan semakin bebalnya negara untuk tetap menerapkan kebijakan yang dikritik oleh masyarakat. Sebaliknya, upaya untuk menuntut keadilan dan pemenuhan hak atas demokrasi yang sejati cenderung dihadapkan dengan watak yang otoriter, baik yang muncul pada level kebijakan maupun pada situasi di lapangan. Upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus terkubur dan penegakan hukum masih menjadi jalan gelap yang mesti ditempuh.

Dalam pandangan kami, negara sedang menuju situasi yang semakin anti nilai-nilai HAM. Upaya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semakin terancam. Ancaman tersebut hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM, baik hak-hak yang masuk dalam kategori Hak Sipil dan Politik (Sipol) maupun Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Semakin meningkatnya kekerasan di berbagai level menjadi penanda bahaya bagi keberlangsungan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Oligarki dan Impunitas Menguatkan Situasi Krisis Kebebasan Sipil

Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh DPR RI, dan kini menjadi produk hukum yang inkonstitusional, telah memicu gelombang demonstrasi yang juga berlangsung di berbagai wilayah. Aksi-aksi yang terjadi banyak menimbulkan kekerasan terhadap massa aksi dan itu kerap dilakukan oleh aparat polisi. Kekerasan tidak berhenti pada saat aksi namun juga setelah gelombang penolakan omnibus law bergulir. Ini menjadi pertanda semakin buruknya pemberian ruang aspirasi yang aman bagi warga negara.

Kasus-kasus kekerasan yang terjadi selama masa penolakan omnibus law di antaranya adalah penangkapan massa aksi, kekerasan fisik oleh aparat, pembubaran aksi, dan salah tangkap. Di Makassar, massa aksi yang ditangkap kemudian ditahan dan diinterogasi sewenang-wenang tanpa bantuan hukum. Padahal terdapat prosedur dan hak bagi yang ditangkap untuk memperoleh pendampingan hukum. Beberapa dari korban telah dikeluarkan, namun tetap saja itu berdampak bagi psikologis korban dan stigma sosial yang mereka peroleh. Total yang ditangkap atau masih dinyatakan hilang berdasarkan pengaduan dan laporan  sebanyak 57 orang yang terdiri dari 40 Mahasiswa, 13 pelajar – usia anak,  dan 4 pekerja.

Omnibus Law hanyalah sebuah simbol dari cara berpikir negara yang memberi ruang bagi praktek pembangunan yang tidak ramah lingkungan, melanggar HAM, dan menjadi ruang akumulasi kapital bagi segelintir orang saja. Dan untuk mewujudkan itu semua, negara memaklumi berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang menyatakan pendapatnya yang berbeda. Situasi ini juga diperparah dengan situasi pandemi yang masih terus berlangsung dan memaksa banyak orang untuk bertahan hidup tanpa adanya jaminan perlindungan dan kesehatan yang layak.

Kontras Sulawesi mencatat beberapa kasus yang terjadi dan menjadi catatan refleksi antara lain:

  1. Kekerasan Ekstremisme

Salah satu tantangan terbesar pada Hak Asasi Manusia hari ini adalah kemunculan aksi terorisme dan ekstremisme kekerasan. Pada rentang waktu 2000-2021 terdapat 533 kasus teror di Indonesia. Pola kekerasan yang dilakukan dalam aksi tersebut hampir sama yakni dengan membawa isu agama tertentu dan penyerangan atas simbol. Selain itu, perkembangan aksi kekerasan ekstrimisme di Indonesia merekrut perempuan untuk ikut dalam tindakan kekerasan.

Sulawesi menjadi salah satu wilayah dengan tingkat tindakan ekstremisme kekerasan tertinggi di wilayah Indonesia Timur. Sepanjang tahun 2021 terdapat dua kasus besar yang menandai munculnya kembali ekstremisme kekerasan  dan terorisme yakni kasus pengeboman Gereja Katedral pada Maret 2021 yang menyebabkan 14 orang terluka dan Kasus Poso, Sulawesi Tengah, yang terus berlanjut hingga saat ini. Kasus-kasus tersebut menyebabkan kematian, luka-luka, kehancuran infrastruktur, dan ancaman keamanan bagi warga sipil.

Kasus ekstrimisme kekerasan harus mendapatkan upaya yang lebih serius dan optimal dari negara, termasuk membongkar jaringan pelaku. Ekstremisme kekerasan adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan dan berdampak besar bagi perdamaian. Negara harus bertanggung jawab untuk mewujudkan hak atas rasa aman kepada warga negara terutama di wilayah yang rentan terjadi aksi kekerasan oleh ekstrimis. Ekstremisme kekerasan tidak hanya mencabut hak sipil politik warga negara, tetapi juga berdampak pada pemenuhan hak ekonomi sosial budaya.

  1. Ancaman Otoritarianisme Digital dan Ancaman KBGO

Otoritarianisme digital merupakan penekanan kekuasaan dari negara yang melanggar kebebasan individu secara digital. Penekanan negara atas aktivitas digital warga negaranya meliputi tiga bentuk yakni penyensoran daring, pengawasan siber, dan upaya kontrol terhadap infrastruktur digital. Di Indonesia upaya penekanan terkait hak digital warga negaranya ditandai dengan kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berisikan pasal karet dan menjadi senjata yang sering dipakai dalam pembungkaman kebebasan berekspresi dan perbedaan pendapat yang sah.

Sejak pemerintahan terpilih pada tahun 2014 hingga masa pandemi Covid-19 potensi lahirnya otoritarianisme digital semakin mendekati dan mengancam hak digital warga negara. Hal ini ditandai dengan semakin banyak warga yang didakwa menggunakan UU ITE, Polisi berpatroli di internet, serta serangan digital kepada aktivis, jurnalis, dan akademisi yang melayangkan kritik secara sah untuk pemerintah. Selain itu gelombang baru ancaman dan serangan digital kini menyasar epidemiolog, organisasi masyarakat sipil, dan juga media yang mengkritisi kebijakan kesehatan.

Sepanjang Maret – April 2021, KontraS Sulawesi mengadakan survei untuk melihat secara mendasar penggunaan internet dan pengetahuan mengenai Hak Digital di Sulawesi Selatan. Melalui 233 orang responden di 15 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, kami mencatat bahwa situasi hak digital di Sulawesi Selatan tidak baik-baik saja yang ditandai dengan berbagai kasus penipuan online, pencurian akun, penyebarluasan data pribadi, penyadapan media komunikasi digital, Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO), dan ancaman digital lainnya.

Selain itu penetrasi penggunaan internet Sulawesi Selatan yang sangat tinggi di Indonesia Timur tidak dibarengi dengan pengadaan kebijakan dan regulasi untuk melindungi dan melakukan pencegahan pelanggaran hak digital. Tidak adanya peran negara untuk menyediakan perlindungan hak digital akan menambah kekhawatiran dan kerentanan bagi warga negara.

Otoritarianisme digital menjadi ancaman bagi hak asasi manusia dan kebebasan sipil khususnya pemanfaatan ruang media sosial dan internet. Hal ini juga terkait dengan pelanggaran hak kebebasan berkumpul, hak untuk kebebasan berekspresi, hak atas rasa aman, dan juga hak atas privasi baik luring ataupun daring.  Otoritarianisme digital melanggar prinsip-prinsip negara demokrasi dan hak asasi manusia secara fundamental.

Dampak persoalan lain yang menjadi catatan dalam persoalan aktivitas hak digital kita adalah ancaman kekerasan berbasis gender online. Tingkat kekerasan gender online yang cukup tinggi semakin diperparah dengan tidak adanya mekanisme hukum serta masih minimnya pengetahuan terkait hak digital juga menjadi tantangan ke depannya. Hal ini berlangsung dalam berbagai bentuk yang berhasil didokumentasikan oleh Kontras Sulawesi melalui narasi hasil survey Hak-Hak Digital di Sulawesi Selatan.

  1. Bencana dan Minimnya Perlindungan Kesalamatan Rakyat

Sepanjang tahun 2021 berbagai macam bencana terjadi dan menjadi cobaan sekaligus tantangan bagi negara untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah bertanggung jawab untuk mitigasi bencana, memenuhi kebutuhan dasar, memberikan pelayanan umum, dan memberikan perlindungan atas dampak bencana bagi warga negara. Kami mengklasifikasikan bencana sepanjang tahun ini menjadi dua kategori besar yakni bencana alam dan Pandemi Covid-19.

Sulawesi menjadi salah satu pulau dengan kerentanan bencana alam seperti banjir, tanah longsong, puting beliung, tsunami, dan kekeringan yang cukup tinggi di Indonesia. Bencana tersebut merupakan dampak dari krisis iklim yang terjadi akibat alih fungsi lahan menjadi kelapa sawit, pengerukan pasir laut, eksploitasi hutan dan sumber daya alam, dan pembukaan tambang. Persoalan-persoalan penyebab krisis iklim ini malah kemudian difasilitasi negara dengan kemudahan investasi dan peniadaan AMDAL melalui penerapan Omnibus Law yang tidak berperspektif lingkungan dan menindas masyarakat kecil. Salah satu contoh yang terjadi di Sulawesi Selatan adalah pengerukan pasir di Takalar menyebabkan kerusakan ekosistem laut dan abrasi pantai. Rusaknya alam berdampak langsung kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada produksi langsung seperti petani dan nelayan.

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan sebagai tanggapan terhadap masalah ini. Namun kebijakan tersebut cenderung kontroversial dan tidak relevan dengan penanganan Covid-19. Selain itu sering kali penanganan Covid-19 menggunakan kekerasan dan militerisme dalam pelaksanaannya. Beberapa aksi penertiban protokol kesehatan harus berujung pada kerusuhan antara aparat dan warga.  Seperti pada masa PPKM 2021 terdapat pemukulan yang dilakukan oleh Satpol PP kepada perempuan pemilik warung kopi di Kabupaten Gowa.

  1. Darurat Agraria

Ketimpangan penguasaan tanah menjadi akar masalah agraria di Indonesia. Watak monopoli tanah oleh perusahaan yang cenderung difasilitasi negara menjadi salah satu dari sekian banyak sumber konflik. Penguasaan tanah oleh korporasi sangat jomplang jika dibandingkan dengan tanah kelola rakyat. Belum lagi dampak dari aktivitas perusahaan seringkali sangat merugikan masyarakat sekitar wilayah perusahaan. Masyarakat yang memperjuangkan wilayah kelola atau kondisi lingkungan yang layak seringkali mendapat represi oleh aparat atau oknum perusahaan.

Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Sulawesi, situasi agraria juga semakin rumit. Berbagai bentuk kekerasan hingga kriminalisasi terhadap orang yang memperjuangkan ruang penghidupannya terjadi sepanjang tahun 2021. Di Gowa, Sulawesi selatan, seorang petani dan aktivis agraria mendapat tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian di atas Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Di Sulawesi Tengah, warga dari beberapa desa di kec. Pamona sedang berjuang melawan PT. Poso Energy yang menguji coba bendungan PLTA pada tahun 2020 dan membuat 85 Ha sawah warga terendam. Hal itu membuat warga tidak bisa menanam padi selama tiga kali musim tanam sepanjang 2020 hingga awal 2021.

  1. Kekerasan dan Extrajudicial Killing di Sulawesi Selatan

Praktik kekerasan hingga extrajudicial killing masih marak terjadi di sepanjang tahun 2021. Dalam penanganan pandemi Covid-19 misalnya, pendekatan represif penuh kekerasan masih sering dipraktekkan oleh aparat negara dalam mengupayakan pembatasan mobilitas masyarakat untuk meminimalisir penyebaran virus. Bukan malah mengupayakan jaminan kebutuhan dasar sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan tertuang Undang-Undang Karantina Kesehatan.

Dalam catatan lainnya, KontraS Sulawesi bersama LBH Makassar mencatat setidaknya empat kasus penganiayaan dan pembunuhan di luar hukum yang terjadi beberapa tahun belakangan namun hingga tahun 2021 belum menemui titik terang. Kesemua kasus tersebut terjadi di wilayah hukum Polda Sulawesi Selatan dan diduga kuat pelakunya adalah anggota Polisi dalam menjalankan tugasnya. Proses penyidikan dalam beberapa kasus sudah berjalan namun sangat lambat dan disinyalir sengaja dihambat. Beberapa temuan menunjukkan  bahwa ada upaya menghentikan penyidikan dengan pemberian uang kepada ahli waris korban hingga menjanjikan jaminan kelulusan jika ada keluarga korban yang mendaftar Polisi.

KontraS Sulawesi juga mencatat adanya dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi terhadap dua orang anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses pemeriksaan terkait kasus pencurian telepon genggam dan sejumlah uang tunai. Proses penyidikan dan penyelidikan yang seharusnya berjalan dengan prinsip penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia terduga pelaku justru malah sebaliknya. Belum lagi terduga pelaku adalah anak dibawa umur yang sudah seharusnya mendapat perlindungan lebih demi kepentingan masa depan anak.

Catatan di atas menunjukkan bahwa kepolisian dalam hal ini Polda Sulsel gagal memastikan bahwa anggotanya mengimplementasikan peraturan-peraturan internal seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Proses penyelesaian kasus yang lambat dan cenderung dihambat menunjukkan praktek impunitas yang mengakar kuat dalam institusi kepolisian yang bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan semangat reformasi institusi kepolisian.

  1. Ancaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Hari HAM tahun 2021 juga turut dirayakan oleh Kepolisian RI dengan mengadakan Lomba Orasi yang bagi kami adalah sebuah gimmick semata. Praktek ini juga menjadi bagian dari upaya kanalisasi kebebasan. Berbarengan dengan itu semua, ancaman juga tampak ketika semakin maraknya aksi pembubaran aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ormas dan aparat keamanan.  Situasi ini secara singkat menujukkan bagaimana pola perlindungan terhadap kebebasan berpendapat menjadi minim dan terkesan menimbulkan pengabaian oleh Kepolisian RI.

Di Makassar, praktek ini dapat ditelusuri pada tindakan arogan yang dilakukan Ormas terhadap puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Mahasiswa Papua saat berdemonstrasi di Jalan Andi Pangeran Pettarani Makassar, Selasa 26 Oktober 2021 serta pada peristiwa pembubaran aksi peringatan 23 tahun reformasi oleh Fraksi Rakyat Indonesia pada tanggal 21 Mei 2021 oleh ormas. Pembubaran ini dilakukan di tengah banyaknya aparat kepolisian berseragam maupun yang tidak berseragam yang berada di lokasi aksi peringatan 23 tahun reformasi di bawah jembatan layang (Fly Over) kota Makassar.

Tak ada upaya dari aparat kepolisian menghentikan tindakan pengancaman, kekerasan dan pembubaran aksi oleh pelaku, bahkan beberapa anggota polisi juga terlibat meneriaki dan mengancam memukul salah satu massa aksi yang berorasi. Mereka memaksa naik ke mobil komando dan menunjuk-nunjuk salah satu massa aksi yang berorasi. Sangat disayangkan, keberadaan polisi yang dengan jumlah yang cukup tak mengambil tindakan apapun untuk menghalau upaya intimidasi, tindakan kekerasan dan pembubaran aksi yang baru berlangsung sekitar 15 menit.

Merebut Kedaulatan Sipil dan Konsolidasi Gerakan HAM

Pasca dua tahun kepemimpinan Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang jatuh pada 20 Oktober 2021, Kontras Sulawesi melihat bahwa situasi dan kondisi demokrasi justru semakin memburuk ditunjukan dengan Negara yang kian abai dengan tanggung jawabnya dalam melindungi, menghormati dan memenuhi HAM sebagaimana mandat konstitusi serta instrumen hukum HAM nasional maupun internasional.

Dalam kasus-kasus diatas, kami bisa menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia dalam dua tahun dibawah kepemimpinan Jokowi telah mengalami kemunduran secara signifikan. Situasi di level juga semakin memburuk, apabila hal ini terus berlanjut dan dibiarkan, maka situasi demokrasi di Indonesia akan berada pada titik nadirnya dan kita mesti mengulang sejarah kekerasan politik di masa lalu.

Upaya pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan HAM di Indonesia mesti dilakukan dengan memastikan pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin konsisten pada janji politik Nawacitanya dan menghapus segala bentuk impunitas yang masih langgeng hingga hari ini. Pertanggung jawaban negara untuk mengungkapkan kebenaran dan mewujudkan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM dan masyarakat yang tersingkirkan dari berbagai kebijakan pembangunan yang diskriminatif dan eksploitatif mesti dijamin oleh negara.

Komitmen negara untuk memastikan cita-cita reformasi juga perlu terus kita tagih. Salah satunya ialah memastikan reformasi kemanan dan institusi Kepolisian sebagai bagian penting dari negara yang bertugas untuk mengayomi dan memastikan jaminan pemenuhan hukum dan keadilan dapat didapatkan dengan layak.

Kontras Sulawesi percaya bahwa upaya merebut kedaulatan sipil tersebut adalah sebuah perjalanan panjang yang harus dilalui. Hal ini mestinya berbarengan dengan semakin meluasnya konsolidasi dan pendidikan HAM di berbagai level sehingga mampu mewujudkan sebuah tatanan yang adil, berdaulat, dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Makassar, 10 Desember 2021

Badan Pekerja Kontras Sulawesi

Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa: Mendesak Presiden Jokowi Segera Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa
Mendesak Presiden Jokowi Segera Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

Menjelang Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, yakni pada hari Rabu, 25 Agustus 2021, Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksaz yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, Asia Justice and Rights (AJAR), Amnesty International Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), YLBHI, LBH-Jakarta, ELSAM, Federasi KontraS, KontraS Surabaya, KontraS Sulawesi, KontraS Aceh, LBH-Bandung, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah dan pegiat HAM, mengadakan audiensi terbuka secara daring dengan sejumlah instansi pemerintah dan perwakilan legislatif sebagai ruang mempertemukan komitmen keduanya dalam urgensi ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa sebagai perlindungan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia, serta berbagi progres kepada publik terkait langkah yang telah dilakukan pemerintah eksekutif dalam menyusun RUU ratifikasi menuju tahap pembahasan di DPR nantinya.

Dalam audiensi ini, Direktur Instrumen HAM Kemenkumham Timbul Sinaga menjelaskan proses yang telah pihaknya lakukan yaitu pada 30 Juli 2021 Kemenkumham telah membuat surat permohonan izin prakarsa penyusunan RUU pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri sesuai mekanisme perundang-undangan. Pihaknya juga menyatakan sudah beberapa kali mengadakan rapat yang cukup intens terkait persiapan ratifikasi ini dengan melibatkan Kemlu, Kemenko Polhukam dan KSP. “Untuk selanjutnya (surat permohonan izin prakarsa dari Kemlu) akan disampaikan kepada Setneg, dan selanjutnya akan dibantu oleh Setneg dan juga KSP supaya izin prakarsa ini segera keluar dan untuk bisa disampaikan di DPR,” jelas Sinaga.

Mewakili Kementerian Luar Negeri, Vienna Adza selaku pejabat Fungsional Diplomat Kementerian Luar Negeri memaparkan bahwa sepanjang 2019 dan 2020 Kemlu sudah memperbaharui naskah akademik yang ada, dan juga melakukan sosialisasi serta menghimpun masukan dari Kementerian/Lembaga, akademisi dan stakeholder lainnya. Adza melanjutkan bahwa terkait proses izin prakarsa yang sedang berlangsung, Kemlu akan bertindak sebagai lembaga pendamping. Sebelum audiensi berakhir, Adza menegaskan, “Surat (permohonan izin prakarsa) sudah ditandatangani oleh Ibu Menlu dan besok akan dikirimkan ke Setneg.

Kemenko Polhukam sebagai koordinator yang mensupervisi proses ini, Analis Hukum Ahli Madya Polhukam Faizal Banu menyatakan pada prinsipnya Kemenko Polhukam akan terus mendorong proses ratifikasi dan mensinergikan sesuai tupoksi dan kewenangannya. Sebagaimana Indonesia sudah berkomitmen bahwa merampas kemerdekaan seseorang secara melawan hukum tidak dapat dibenarkan sejak awal merdeka. “Kita akan mencoba semaksimal mungkin berusaha untuk percepatan ataupun penyelesaian proses peratifikasian Konvensi,” ujar Faisal Banu.

Lebih lanjut mewakili KSP, Mugiyanto menyebutkan bahwa ratifikasi Konvensi ini ialah prioritas pemerintahan Jokowi. Ia mengonfirmasi bahwa Kemenkumham telah menyusun timeline agar izin prakarsa dari Presiden setidaknya keluar pada Oktober 2021 dan dokumen ratifikasi dapat segera diserahkan kepada DPR. Kemudian pada waktu yang tersisa sepanjang November-Desember, pihaknya berharap DPR dapat memproses ratifikasi Konvensi sehingga pada Hari HAM Internasional 10 Desember tahun ini Indonesia sudah menjadi Negara Pihak dari Konvensi Internasional Anti-Penghilangan Paksa. Melanjutkan surat izin prakarsa yang akan dikirimkan Kemlu kepada Setneg, Mugi menyatakan KSP sendiri akan mendorong dan mengawal Setneg agar Surat Presiden perihal RUU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa dapat segera dikeluarkan dan diterima oleh DPR. “Fraksi-fraksi yang ada di DPR mudah-mudahan menyetujui ratifikasi yang diajukan oleh Pemerintah supaya kita segera jadi Negara Pihak dan keinginan kita bersama untuk memiliki instrumen untuk pencegahan tindak penghilangan orang secara paksa ke depan ini bisa terwujud,” tutupnya.

Harapan ratifikasi ini disetujui oleh DPR bukan tanpa latar ironis. Faktanya meski dorongan agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa pertama kali dikeluarkan DPR tahun 2009, namun ketika RUU Ratifikasi Konvensi ini masuk DPR pada tahun 2013, DPR justru menunda pengesahan hingga waktu yang tidak ditentukan dengan alasan membutuhkan waktu untuk konsultasi dan mengkaji ulang. Sejak itu formasi DPR sudah berganti 2 kali di 2014 dan 2019, namun masih belum ada kepastian atau setidaknya kabar, kapan ratifikasi ini akan kembali dibahas di tingkat legislatif.

Menanggapi proses yang tengah berlangsung di eksekutif, KH. Maman Imanulhaq anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKB menyatakan dengan tegas bahwa PKB memberi respon positif terhadap ratifikasi konvensi. “Pada intinya kita sudah satu suara ya, bahwa semangat kita untuk percepatan ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa itu memang harus bisa terwujud pada momentum 10 Desember ini,” tuturnya. Selain itu, menurutnya pola percepatan antara Pemerintah dan DPR membutuhkan desakan dari masyarakat sipil, baik melalui surat, media sosial, atau pertemuan langsung dengan fraksi-fraksi terkait di DPR RI.

Pernyataan Kang Maman juga didukung oleh Taufik Basari, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem yang turut menyatakan kesiapannya mendorong ratifikasi Konvensi ini. Selain itu, menurut Taufik Basari atau kerap disapa Tobas, sosialisasi adalah upaya penting yang harus dilakukan Pemerintah. Ia memaparkan bahwa hambatan pro-kontra pengesahan konvensi di kalangan DPR biasanya terjadi karena kesalahpahaman mengenai Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang dapat berimplikasi pada kondisi politik di masa lalu. “Kalau dari TNI/Polri juga menyampaikan dukungan yang kuat dan itu juga sampai ke DPR, tentu akan membantu upaya kita untuk memuluskan jalan persetujuan terhadap ratifikasi Konvensi ini. Jadi tetap kuncinya ada di Pemerintah kalau menurut saya.” tambah Tobas.

Senada dengan hal di atas, Hinca IP Pandjaitan – Komisi III, anggota Baleg DPR dan Sekjen Partai Demokrat sejak Mei 2015, juga menyampaikan komitmen dan dukungan Partai Demokrat dalam meratifikasi Konvensi. Pentingnya isu penghilangan paksa melampaui batas perbedaan siapa koalisi pemerintah atau bukan, melainkan ini tanggungjawab bersama. “Sesungguhnya pada 27 September 2010 yang lalu kita sudah menandatangani Konvensi ini, tapi memang belum meratifikasi. Sehingga bolehlah kita sebut begini Presiden SBY yang memulai, kita harapkan Presiden Jokowi yang menggenapi,” ujarnya. Dalam 95 hari kedepan menuju 10 Desember 2021, Pandjaitan meminta terutama KSP untuk menyiapkan Surat Presiden lebih cepat masuk ke DPR agar pembahasan RUU dapat dilaksanakan di masa sidang legislatif sekarang–yang masih berlangsung hingga Oktober. “Kalau KSP sudah siap, kami tunggu di Parlemen, Senayan. Kapan saja siap,” tegasnya.

Turut hadir anggota Komisi II Fraksi PKS, Nasir Djamil, berkomitmen untuk hal yang sama. Menurutnya, audiensi ini menjadi salah satu upaya masyarakat untuk tidak melupakan hak asasi. Norma HAM masuk dalam amandemen UUD untuk menunjukkan kepada dunia dan masyarakat bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Negara kekuasaan memiliki kebiasaan melupakan bahkan mengubur peristiwa-peristiwa terkait pelanggaran HAM. “Sebenarnya ketika kita konsisten untuk mengimplementasikan dan meratifikasi soal ini, maka itu juga merupakan indikator terkait kemajuan demokrasi, kemajuan peradaban, dan juga kemajuan sebagai negara hukum. Oleh karena itu, negara perlu untuk bersungguh-sungguh agar ratifikasi ini jangan tertunda lagi dan tentu saja Fraksi PKS sebagai salah satu kekuatan politik di parlemen mendorong ini karena yang namanya HAM itu adalah hak yang dia tenteng sejak dia lahir.” tegasnya. “Semakin jauh, semakin lama kita tidak meratifikasi, itu artinya kita tidak punya perasaan lagi. Bayangkan kalau Negara sudah tidak punya perasaan lagi.”

Berbagai pernyataan di atas menunjukkan angin segar kepada masyarakat atas komitmen Negara untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Kami mengapresiasi upaya pemerintah yang tengah berjalan dan akan terus mengawal hingga komitmen Negara untuk meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa segera terealisasi. Oleh karena itu kami mendorong agar:

  1. Menteri Sekretaris Negara segera memproses izin prakarsa;
  2. Presiden segera mengeluarkan Surat Presiden perihal RUU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa dan mengirimkannya kepada DPR;
  3. DPR segera membahas dan mengesahkan UU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa.

 

Jakarta, 26 Agustus 2021

Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa

(KontraS, AJAR, Amnesty International Indonesia, IKOHI, YLBHI, LBH-Jakarta, ELSAM, Federasi KontraS, KontraS Surabaya, KontraS Sulawesi, KontraS Aceh, LBH-Bandung, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah)

Catatan Hitam Polda Sulsel: Penghentian Proses Hukum Kasus Dugaan Penyiksaan Dan Pembunuhan Diluar Hukum Yang Diduga Dilakukan Oleh Aparat

Beberapa tahun ini, LBH MAKASSAR bersama dengan KONTRAS SULAWESI telah menghimpun sekitar 4 kasus penyiksaan dan pembunuhan diluar proses hukum (extrajudicial killing) yang terduga pelaku adalah anggota kepolisian di Lingkup POLDA SULSEL. Kasus-kasus ini telah didampingi bersama serta telah berproses hukum di POLDA SUSLES dan telah  menjadi sorotan publik. Kasus kasus tersebut diantaranya kasus kematian Agung di Makassar pada tahun 2016 , kasus kematian Sugianto di Bantaeng pada tahun 2019, kasus penembakan Jln. Barukang kota Makassar yang berakibat 2 orang mengalami luka (Amar dan Ikbal) dan 1 orang meninggal (Anjasasmara)  pada tahun 2020, dan kasus kematian  Kaharuddin di Makassar pada tahun 2019.

Kasus kasus yang disebutkan diatas semua dilaporkan dengan dugaan polisi sebagai pelaku kejahatan yang dilakukan dalam menjalankan tugasnya dalam proses penyelidikan dan penyidikan. Tindakan tersebut dianggap melanggar pasal 351 ayat 3, 170 hingga 340 KUHP yang tindakannya dianggap sengaja melakukan tindakan kekerasan baik sendiri maupun bersama sama berakibat hilangnya nyawa seseorang.

Dari empat kasus diatas, tiga kasus dilaporkan dan sudah berproses hukum lebih dari satu tahun di POLDA SULSEL, diantaranya kasus agung ditetapkan lima tersangka, penembakan Anjasasmara belum ada tersangka dan kasus kaharuddin juga belum ada tersangka. Namun proses yang lama tersebut oleh POLDA SULSEL pada tahun 2021 akhirnya dinyatakan diberhentikan proses penyidikan dan penyelidikannya yang berlandaskan pada putusan praperadilan pada kasus Agung, penerapan restoratif justice pada kasus Anjasasmara dan menyatakan tidak cukup bukti pada kasus Kaharuddin dengan alasan bahwa keluraga menolak Autopsi yang diketahui keterangannya diduga dipalsukan oleh pihak kepolisian. Sedangkan untuk kasus Sugianto di POLRES BANTAENG hingga saat ini belum diketahui perkembangannya.

Dilihat dari pola penanganan pihak polda sulsel terhadap anggotanya yang diduga kuat melakukan kekerasann dan/atau penyiksaan mengindikasikan bahwa pihak Polda Sulsel dinilai terkesan “melindungi citra” institusinya dengan berupaya untuk melakukan penghentian proses hukum terhadap pelaku dengan berbagai modus, mulai dari upaya mendamaikan pelaku dan korban dengan memberikan uang, mengulur-ngulur waktu dan mendiamkan laporan korban (undue delay), adanya dugaan pemalsuan keterangan penolakan autopsy pada kasus kematian Kaharuddin, dan menerapkan Restorative Justice pada kasus Anjasasmara yang jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangangan, bahkan di internal kepolisian itu sendiri.

Berdasar uraian kasus diatas, kami menilai bahwa upaya penghentian penyelidikan/penyidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian merupakan upaya untuk melanggengkan impunitas dalam kekerasan polisi. Maka kami menyampaikan kepada KAPOLDA SULSEL BAPAK KAPOLDA Irjen Pol Nana Sudjana Untuk:

  1. Mencabut surat penetapan penghentian penyelidikan / penyidikan dugaan kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang mengakibatkan kematian terhadap Agung Pranata, Anjasasmara, dan Kaharuddin;
  2. Melanjutkan proses penyelidikan dan penyidikan kasus Agung Pranata, Anjasasmara , Kaharuddin dan Sugianto;
  3. Memberikan atensi khusus dalam proses penegakan hukum untuk kasus aparat kepolisian sebagai terduga pelaku kejahatan;
  4. Menuntut Polda Sulsel untuk memastikan bahwa anggotanya mengmplementasikan peraturan-peraturan internal seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajeemen Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia;
  5. Menghentikan segala bentuk impunitas dengan melaksakaan reformasi kultural internal kepolisian pada lingkup Polda Sulsel.

Makassar, 17 November 2021

YLBHI-LBH Makassar & KontraS Sulawesi

 

 

Narahubung:

Andi Haerul Karim/YLBHI-LBH Makassar

0813-4398-5796

Asyari Mukrim/KontraS Sulawesi

0821-9191-4973

Tiga Belas Tahun Pasca Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP): Bentuk Komisi Orang Hilang dan Penuhi Hak Korban

Setelah 24 tahun mengalami pelanggaran sistematik, reformasi di Indonesia memberi hawa baik bagi warga Timor untuk menentukan status Timor Timur melalui referendum yang diselenggarakan PBB tahun 1999. Meski demikian, perjalanan ini masih menyisakan duka bagi Timor Leste dimana ribuan anak-anak dari Timor-Leste (sekarang telah dewasa) masih hilang dan putus kontak dengan keluarga mereka selama kurang lebih 40 tahun akibat konflik dengan Indonesia saat itu. Para orang tua di Timor-Leste pun masih mencari anak-anak mereka di Indonesia.

Pemerintah Timor-Leste dan Indonesia dalam perjalanannya, sepakat untuk membentuk komisi bilateral dengan nama Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Komisi bilateral ini berjalan dari tahun 2005-2008 dengan mandat mengungkap kebenaran konklusif atas kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999 baik lewat telaah atas mekanisme judisial dan non-judisial yang telah dilakukan sebelumnya. Komisi ini juga memperkuat fakta Komisi Kebenaran sebelumnya yakni CAVR, bahwa ratusan anak Timor-Leste (saat ini telah dewasa) yang dipindahkan secara paksa ke Indonesia pada periode 1975-1999.

Pada 15 Juli 2008, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) secara resmi telah menyerahkan laporan Per Memoriam ad Spem (Melalui Kenangan Menuju Harapan) kepada Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Penyerahan laporan ini menandakan rampungnya kerja-kerja komisi bilateral ini dalam mengusut kasus orang yang dihilangkan. Dalam laporan akhir tersebut, Komisi menemukan adanya pelanggaran berat HAM di Timor-Timur dalam bentuk kejahatan kemanusiaan dengan tanggung jawab institusional dan kemudian dihasilkan beberapa rekomendasi termasuk persoalan mengenai pemulihan korban.

Hingga hari ini, seruan untuk membentuk komisi bilateral guna mengusut kasus orang-orang yang dihilangkan seperti yang telah direkomendasikan oleh laporan akhir tetap diabaikan oleh kedua negara. Salah satu rekomendasi KKP, yakni membentuk komisi untuk mengusut orang-orang hilang, belum dilaksanakan. Sejak tahun 2013, masyarakat sipil yang tengah menginisiasi pencarian anak yang hilang dan turut membantu mereka untuk reunifikasi dengan keluarganya yang terpisah. Setidaknya, hingga tahun 2021 telah berhasil mempertemukan 160 anak yang hilang dan 80 anak yang telah reuni bersama keluarganya di Timor.

Upaya masyarakat sipil dalam menginisiasi pencarian anak yang hilang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia dan Timor Leste dengan membentuk Komisi Orang Hilang sehingga mampu memperbaiki situasi mereka yang masih hilang, memastikan dapat diaksesnya prosedur identifikasi dan kewarganegaraan, serta memberikan pemulihan bagi para korban. Tidak ada lagi alasan untuk menunda pembentukan komisi orang hilang, khususnya bagi Pemerintah Indonesia, karena hal ini juga telah menjadi sorotan Dewan HAM PBB melalui Komite Hak Sipil dan Politik yang pada tahun 2020 meminta laporan kepada Indonesia terkait perkembangan rekomendasi yang dikeluarkan oleh KKP termasuk mencari dan memenuhi hak anak-anak yang dipisahkan antara tahun 1975-1999.

Di tahun 2019, Presiden Timor Leste telah menyatakan dukungannya untuk proses reunifikasi keluarga yang terpisah. Sayangnya dukungan tersebut tidak segera disambut baik oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia pada pemerintahan SBY telah mengeluarkan Perpres No. 72 tahun 2011 untuk mengimplementasikan rekomendasi KKP dalam jangka waktu 5 tahun hingga 2016 dan sepakat melaksanakan Senior Official Meeting (SOM) setiap tahun guna membahas mengenai tindak lanjut rekomendasi. Namun, SOM ini terakhir diadakan di tahun 2015 dan masih banyak juga rencana aksi yang hingga kini belum tuntas. Melihat dampak dan urgensi mencari orang hilang, seharusnya Presiden Jokowi yang kembali terpilih segera memperbaharui Perpres tersebut. Namun selama pemerintahannya, Jokowi tidak kunjung menunjukkan kepeduliannya dengan tidak merevisi aturan tersebut.

Sementara itu, sebagaimana janji di awal Pemerintahannya terhadap korban pelanggaran berat HAM termasuk korban penghilangan paksa, Presiden Jokowi harus segera secara resmi menjawab dukungan Presiden Timor Leste tersebut dan kedua Negara termasuk mengambil tindakan konkret membentuk Komisi pencarian orang hilang untuk membantu menyatukan kembali anak-anak yang diculik dari Timor-Leste dengan anggota keluarga mereka dan membangun kembali kehidupan mereka, serta segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen negara untuk mencegah keberulangan peristiwa di masa yang akan datang.

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak Presiden Jokowi untuk:

Pertama, secepatnya melangsungkan SOM ke-8 dengan melibatkan partisipasi lembaga seperti Komnas HAM maupun NHRI (National Human Rights Institution) agar rekomendasi di dalam KKP dapat terpantau dengan jelas;

Kedua, mengedepankan agenda pembentukan Komisi Orang Hilang serta pemenuhan HAM korban penghilangan paksa dalam pembahasannya sebagai bentuk akuntabilitas dan pemenuhan hak korban secara menyeluruh;

Ketiga, Presiden Jokowi memperbarui Perpres 72 Tahun 2011 sebagai komitmen awal mengimplementasi Laporan Akhir KKP, mengedepankan usaha pencarian dan pemulihan mereka yang masih hilang, memfasilitasi kunjungan reuni dalam jumlah besar, dan memastikan hak memilih warga negara bagi anak-anak Timor Leste yang diculik, dengan melibatkan masyarakat sipil yang telah sejak awal menginisiasi pencarian ini.

Keempat, Segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk kepastian hukum bagi masyarakat agar terhindar dari segala bentuk kejahatan penghilangan paksa, menciptakan ketidak berulangan kejahatan penghilangan paksa, dan menjadi bentuk pengakuan kolektif bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan kemanusiaan yang serius.

Jakarta, 15 Juli 2021

Kelompok Kerja untuk “Stolen Children”

Asia Justice and Rights (AJAR),

Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS) Sulawesi

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS) Surabaya

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah

 

Narahubung:

  • AJAR Hotline (087887557599)
  • KontraS (082175794518)

Menyoal Urgensi Komando Cadangan bagi Indonesia

Rilis Tanggapan Kontras Sulawesi
Menyoal Urgensi Komando Cadangan bagi Indonesia

Secara definisi yang dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2019 dan PP No. 3 Tahun 2021, disebutkan bahwa komponen Cadangan adalah Sumber Daya Nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama. Komando Cadangan (Komcad) dikerahkan dalam keadaan perang atau darurat militer. Komcad hanya aktif pada masa pelatihan dan mobilisasi. Sementara mobilisasi komcad dilakukan presiden dengan persetujuan DPR.

Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dipersiapkan secara dini untuk menghadapi ancaman militer, ancaman nonmiliter dan atau ancaman hibrida. Lebih jauh, dijelaskan bahwa ancaman sebagaimana dimaksud dapat berwujud agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serangan siber, serangan nuklir, serangan biologi, serangan kimia, atau wujud ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia.

Persoalan yang Perlu Dikhawatirkan

UU No. 23 Tahun 2019 terkait PSDN sedang dalam proses uji materi di MK setelah digugat oleh sejumlah organisasi HAM dan individu yang mengatasnamakan Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan. UU tersebut dinilai bermasalah baik secara substansial maupun procedural. Salah satu pasal yang disoroti ialah ancama pidana penjara paling lama 2 tahun jika tidak memenuhi panggilan Mobilisasi.

Selain itu, meski sejak awal Presiden Jokowi sudah menegaskan dan melarang komponen cadangan (komcad) digunakan untuk kepentingan selain pertahanan akan tetapi potensi penyalahgunaan masih mungkin terjadi terhadap komcad tidak aktif atau yang telah selesai melakukan pelatihan dengan standar militer.

Hal lain yang perlu disoroti adalah kekhawatiran bahwa satuan warga sipil yang diberi pelatihan militer itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Penegasan Presiden tidak cukup karena Presiden Joko Widodo menetapkan 3.103 orang sebagai Komponen Cadangan atau Komcad Tahun Anggaran 2021. Agenda tersebut dijalankan sesuai dengan UU No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) menyatakan bahwa Komcad, sebagai salah satu usaha pertahanan negara, dapat dikerahkan untuk menanggapi tidak hanya ancaman militer tapi juga ancaman non-militer dan ancaman hibrida.page1image36529920

Ancaman tersebut dianggap menyalahi menyalahi prinsip conscientious objection (hak untuk menolak atas dasar keyakinan) dalam pelibatan warga sipil untuk pertahanan yang diakui dalam norma HAM internasional. UU PSDN ini masih membuka kemungkinan pengerahan Komcad untuk menanggapi hal-hal yang selama ini dianggap pemerintah sebagai ancaman keamanan di dalam negeri, seperti separatisme, komunisme, serta terorisme tanpa jaminan proses hukum yang jelas.

Selain itu, kekhawatiran terkait cara pandang negara yang masih cenderung mendorong pengarahan kekuatan yang berkarakter militerisme dalam kehidupan sosial masyarakat dapat dianggap sebagai cara pandang yang tidak selaras dengan demokrasi dan supremasi sipil. Cara pandang dan pendekatan militeristik cenderung melahirkan respon tindakan kekerasan yang tidak sejalan dalam upaya mewujudkan perdamaian yang bermakna.

Hal lain yang perlu dipastikan ialah jaminan terkait proses perekrutan juga perlu melalui mekanisme dan kriteria yang tidak melanggar nilai-nilai HAM dan berfokus pada isu kemanusiaan. Selain itu, kita perlu secara bersama-sama memastikan jaminan bahwa Komcad pada masa aktif yaitu pada masa Latihan Penyegaran dan Mobilisasi maka yang berlaku adalah Hukum Militer diatur dalam Pasal 46 UU PSDN, terlepas dari masa aktif maka anggota komcad harus tetap patuh pada hukum sipil yang tunduk di bawah kewenangan peradilan umum.

Makassar, 8 Oktober 2021

Badan Pekerja Kontras Sulawesi

Asyari Mukrim

Hentikan Praktek Extrajudicial Killing di Polda Sulsel

Hentikan Praktek Extrajudicial Killing di Polda Sulsel: Tuntaskan Kasus Dugaan Penyiksaan Berujung Kematian Kahar Dg. Sibali

Ancaman tindak kekerasan oleh Kepolisian merupakan momok menakutkan yang semakin mengancam hak-hak masyarakat sipil. Praktik Extrajudicial Killing yang diduga kuat telah dilakukan oleh anggota Polda Sulsel, dengan melakukan penyiksaan terhadap Kahar Dg. Sibali, hingga merenggut nyawanya.

Kahar Dg. Sibali ditangkap pada 24 Juni 2019 tanpa diperlihatkan surat perintah penangkapan. Penangkapan dilakukan oleh Anggota Polres Sinjai dan Resmob Polda Sulsel yang berjumlah 9 (Sembilan) orang diketahui dipimpin oleh IPDA Sangkala. Saat ditangkap, Kahar yang kondisinya terlihat sehat walafiat berdasarkan rekaman CCTV yang diperoleh kemudian dibawa ke Posko Resmob Polda Sulsel.

Ernawati, Adik Kandung Kahar, mendatangi Posko Resmob Polda Sulsel setelah mengetahui penangkapan terhadap adiknya pada pukul 13.00 Wita. Di sana, Ia mendapatkan Informasi dari AIPTU Suta bahwa penangkapan Kahar dalam proses pengembangan.

Sekitar pukul 15.00 Wita, Erna mendapatkan informasi bahwa Kahar telah meninggal dunia dan mayatnya berada di RS Bhayangkara. AIPDA Asmin menyampaikan bahwa Mayat Kahar tiba di RS Bhayangkara pada pukul 11.00 Wita dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Kahar disebutkan juga meninggal karena 2 hal, yaitu karena tembakan dan efek penggunaan narkoba. Erna berupaya untuk melihat mayat Kahar namun tidak diberikan izin oleh AIPDA Asmin.

Pukul 18.00 Wita mayat Kahar Dg. Sibali dibawa ke rumah Hayati. Saat membuka kain penutup mayat, Erna melihat Kahar penuh dengan luka dan lebam, serta bekas tembakan pada bagian lutut.

Erna menduga bahwa kematian adik kandungnya disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan oleh Anggota kepolisian yang menangkap Kahar. Olehnya itu, pada 10 Februari 2020 Erna melaporkan dugaan penyiksaan tersebut ke Polda Sulsel.

Namun, keadilan tidak berpihak kepada Erna. Pada 29 september 2021 terbit SP2HP (A2) dari Polda Sulsel yang mengatakan bahwa penyelidikan akan dihentikan dan tidak ditingkatkan ke tahap penyidikan karena Hayati yang dianggap Istri Kahar oleh Polda Sulsel telah bertanda tangan menolak autopsi. Padahal, istri sah Kahar Dg. Sibali, yaitu nanti beserta anak kandungnya, Muhammad Niko dan Ernawati bersedia jika jenazah Kahar diautopsi.

Berdasarkan Fakta-fakta yang disebutkan di atas, YLBHI-LBH Makassar dan KontraS Sulawesi selaku Pendamping Hukum Pelapor mengecam Polda Sulsel terkait penghentian penyelidikan kasus dengan alasan bahwa keluarga korban menolak untuk autopsi.

a. Pihak Resmob Polda Sulsel dan Polres Sinjai diduga Kuat Melakukan Penyiksaan

Berdasarkan kronologi penangkapan dan bukti yang diperoleh, diduga kuat Kahar Dg. Sibali telah diksiksa hingga meninggal. Berdasarkan bukti CCTV, Kahar ditangkap dalam kondisi sehat dan tidak ada luka di sekujur tubuh dan tidak dalam menyembunyikan dan membawa senjata tajam. Jika pihak kepolisian beralasan bahwa mereka melakukan tindakan kekerasan hingga luka lebam pada bagian tubuh Kahar disebabkan ada tindakan mengancam diri aparat kepolisian, jelas tidak masuk akal. Kedua tangan Kahar diborgol saat ditangkap. Jika hendak melawan dan mengancam nyawa pihak kepolisian, Kahar dapat dilumpuhkan dengan upaya tembakan pada bagian betis. Namun, asumsi tindakan yang membahayakan nyawa aparat sangat tidak masuk akal jika dilihat dari jumlah sumber daya dan kemampuan seorang penyidik dalam melakukan penangkapan. Terlebih lagi terdapat luka-luka disekujur tubuh. Olehnya itu, kami menduga kuat bahwa telah terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap Kahar Dg. Sibali.

b. Permohonan izin kepada keluarga korban guna autopsi bukan norma hukum

Penghentian penyelidikan dengan alasan bahwa pihak keluarga korban menolak untuk dilakukannya autopsi terhadap jenazah Kahar Dg. Sibali dan tidak melakukan tindakan maksimal demi penegakan keadilan hukum bagi keluarga korban jelas melawan peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 120 menyebutkan bahwa dalam hal Penyidik menganggap perlu, Ia dapat meminta pendapat ahli yang memiliki keahlian khusus untuk melakukan visum. Kemudian tegas pada Pasal 133 KUHAP yang berbunyi Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. KUHAP Tidak memerintahkan kepada pihak kepolisian untuk tidak melakukan autopsi jika terdapat keluarga korban yang menolak. Justru, pihak Kepolisian memiliki “kewenangan untuk memaksa” untuk dilakukannya autopsi demi penegakan hukum. Kami menilai bahwa penghentian penyelidikan dengan alasan bahwa keluarga menolak dilakukannya autopsi merupakan upaya yang disengaja untuk tidak melanjutkan proses hukum terhadap terlapor yang merupakan anggota kepolisian aktif Polda Sulsel.

c. Melanggengkan Impunitas dalam Kekerasan oleh Polisi dan Menujukkan Reformasi Kepolisian Mandek

Tidak adanya proses peradilan yang sungguh-sungguh dalam kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan fisik oleh aparat kepolisian yang bernasib serupa. Impunitas dalam kasus-kasus ini menujukkan reformasi kepolisan yang dicitakan POLRI justru mandek, dengan lembaganya yang tetap mempertahan kultur kekerasan. Selain dugaan penyiksaan terhadap Kahar, terdapat sejumlah kasus tercatat yang melibatkan Anggota POLDA SULSEL sebagai terduga pelaku penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Diantaranya adalah kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian Agung Pranata di Makassar. Kasus ini dilaporkan sejak 20 Desember 2016 dan menyeret 5 (lima) orang anggota POLDA SULSEL sebagai tersangka. November 2019 dan pada tahun 2021 dikeluarkan SP3, 4 (empat) anggota Polres Bantaeng diduga terlibat dalam penyiksaan AS (15) dan Sugianto (22) yang menyebabkan kematian Sugianto. Sejak dilaporkan kasus ini belum juga dilimpahkan ke Persidangan. Dan pada 30 Agustus 2020 telah terjadi penembakan di Jalan Barukang yang menyebabkan 2 orang terkena pada bagian betis dan 1 orang terkena pada bagian kepala hingga akhirnya meninggal dunia yang pelakunya diduga dari Polsek Ujung Tanah.

Sebagaimana pada kasus lainnya, penanganan kasus Penyiksaan yang dialami oleh Kahar tidak dilakukan dengan prinsip peradilan yang cepat demi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Justru yang ditemukan adalah pola mengulur-ngulur waktu, upaya mendamaikan korban dengan para pelaku, demi melindungi nama baik instansi kepolisian. Pola tersebut ditempuh dengan cara sistematis mulai dari upaya memalsukan kesaksian keluarga korban, hingga praktik upaya pemberian ‘uang bungkam’, yang difasilitasi oleh kepolisian dengan ujungnya memberi jalan mulus  penghentian penyelidikan.

Untuk itu, berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas, YLBHI-LBH Makassar dan KontraS Sulawesi mendesak

  1. KAPOLRI Cq. KAPOLDA SULSEL yang baru saja dilantik untuk memerintahkan penyidik yang menangani kasus untuk melanjutkan penyelidikan dan segera melakukan autopsi.
  2. Tegakkan prinsip peradilan bersih, cepat, transparan dan akuntabel demi terwujudnya kepastian hukum.

 

Makassar, 02 Desember 2021

YLBHI-LBH Makassar & KontraS Sulawesi