Senin (3 Oktober 2022) ialah hari penyelenggaraan Sidang ketiga Pengadilan HAM Peristiwa Paniai 2014 di Pengadilan Negeri Makassar. Sidang kali ini merupakan sidang kedua dengan agenda pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Di kesempatan ini, JPU mendatangkan 3 saksi yang layaknya sidang pekan lalu, hanya berasal dari Kepolisian di wilayah Paniai saat peristiwa terjadi di 7 – 8 Desember 2014. Kondisi ini memperlebar ketimpangan narasi yang bergulir di Pengadilan sejauh ini sebab hanya diisi versi aparat negara.
Persidangan yang menghadirkan Saksi Petrus Gawe Boro (Kapolsek Paniai Timur), Saksi Sukapdi (Kabag Ops Polres Paniai) dan Saksi Mansur (Kasat Reskrim Polres Paniai) berisi penggalian keterangan yang berupaya menggiring narasi pembenaran dari apa yang dilakukan oleh TNI-POLRI saat peristiwa terjadi. Pembenaran ini dimunculkan dengan menjadikan keterangan-keterangan mengenai situasi aksi massa bahkan hingga perilaku warga yang tentu tidak relevan dan tidak bisa dijadikan validasi dari tindakan yang tidak terukur sehingga terjadi pelanggaran HAM berat di Paniai pada delapan tahun silam.
Narasi pertama yang berulang kali diulas adalah dugaan bahwa ada tembakan senapan dari arah pegunungan yang memicu mobilisasi massa ke Markas Koramil 1705-02/Enarotali. Berbeda dengan informasi di Dakwaan yang menyatakan bahwa suara tembakan senapan bersumber dari awah bawah ujung jalan ke arah Lapangan Karel Gobay. Keterangan yang menurut para saksi bersumber dari Wakapolres Paniai ini juga berisi dugaan bahwa tembakan berasal dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB). Namun saat dikonfirmasi oleh Majelis Hakim, para saksi memberikan keterangan tidak bertemu dengan anggota KKB di sekitar tempat kejadian perkara. Bergulirnya narasi ini patut dianggap sebagai sebuah upaya mengaburkan fakta penting dibalik peristiwa.
Narasi kedua yang dikemukakan untuk mengaburkan informasi dari peristiwa ialah perihal perilaku warga pada peristiwa di 7 Desember 2014 yang dijadikan dalih tindak penganiayaan oleh Anggota TNI. Kelompok anak muda yang sebelas diantaranya kemudian menjadi korban penganiayaan oleh Anggota TNI Timsus Yonif 753/AVT dinarasikan sebagai pelaku peminta sumbangan secara paksa dan juga tengah berada dalam kondisi mabuk akibat konsumsi minuman beralkohol. Keterangan permintaan sumbangan tidak ditemui dalam Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat terbitan Komnas HAM. Dalam dokumen yang meringkas Laporan Penyelidikan Komnas HAM tersebut, kelompok anak muda yang tengah mempersiapkan Peringatan Natal waktu itu hanya menegur pelaku untuk menyalakan lampu motor dan berhati-hati melewati jalan. Keterangan permintaan sumbangan memang terdapat dalam dokumen dakwaan, tapi tidak disertai keterangan tambahan mengenai bentuk paksaan nominal hingga keadaan anak muda tersebut. Kondisi-kondisi kelompok anak muda yang dianggap terdapat pada peristiwa tersebut jika benar pun tidak serta merta dapat dijadikan alasan atau pembenaran untuk melakukan tindakan penganiayaan. Lagi pula, keterangan saksi tersebut hanya menduga dan tidak melihat langsung peristiwa permintaan sumbangan yang diduga dilakukan dengan kekerasan tersebut. Saksi hanya mendengar dari keterangan Anggota TNI.
Narasi ketiga ialah soal dugaan kekerasan yang dilakukan oleh massa aksi saat pemalangan jalan di Pondok Natal Gunung Merah atau di Lapangan Karel Gobay. Dalam persidangan justru terungkap minimnya profesionalitas Kepolisian yakni Kapolsek Paniai Timur dan sejumlah anggota dari Kapolres Paniai dalam menangani aksi massa. Ketidakprofesionalan dapat dilihat dari tidak diterapkannya ketentuan yang proporsional dalam menangani aksi massa sebagaimana yang diatur di Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan juga ketentuan yang terdapat di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pemeriksaan terhadap Saksi Mansur juga terungkap mandeknya proses hukum terhadap sejumlah Laporan Polisi (LP) atas peristiwa hukum seperti pengrusakan mobil operasional Kepolisian dan upaya penyerangan terhadap Saksi Sukapdi yang juga dicantumkan dalam kronologi Dakwaan JPU. Fakta dari rangkaian klaim peristiwa yang terjadi termasuk unsur pelaku dan motif menjadi sangat patut untuk dipertanyakan.
Dari keterangan saksi-saksi tersebut, Kepolisian yang memiliki kewenangan untuk mengamankan aksi massa tidak melakukan tindakan yang terukur berdasarkan perkap sebagaimana disebutkan di atas, pihak Kepolisian memilih untuk mundur untuk mengamankan polsek dan membiarkan aksi massa berakhir ricuh hingga melempari kantor-kantor setelah melewati Lapangan Karel Gobay. Dengan demikian, Kepolisian membiarkan kontak langsung antara massa aksi dengan pihak TNI yang berdampak pada penembakan yang mengakibatkan jatuhnya 4 korban jiwa dan setidaknya 10 korban luka-luka. Berdasarkan Ringkasan Eksekutif Peristiwa Pelanggaran HAM Yang Berat terbitan Komnas HAM bahwa terdapat koordinasi yang buruk antara TNI dan Polri di Papua, TNI di Papua merupakan bentuk perbantuan kepada tugas Kepolisian. Sementara keterangan saksi-saksi menerangkan bahwa Polri sama sekali tidak meminta bantuan kepada TNI dan kepolisian pun tidak memegang komando atas pengamanan untuk Peristiwa Paniai 2014, masing-masing instansi hanya mengamankan wilayah masing-masing. Selain gagal membuat situasi menjadi aman bagi massa aksi, Kepolisian juga tercatat oleh Komnas HAM melakukan upaya penghalangan keadilan (obstruction of justice) dalam peristiwa ini yang tentu perlu ditempuh pula proses penegakan hukumnya.
Penyudutan warga sipil dan korban dari Peristiwa Paniai yang menjadi salah satu bahasan dominan dalam Pengadilan sejauh ini bisa terjadi sebab gagalnya JPU melibatkan partisipasi substansial dari publik utamanya saksi dari penyintas dan keluarga korban serta warga sipil. Publik punya hak untuk mengetahui narasi dari sisi lain yakni dari penyintas, keluarga korban dan perwakilan warga sipil berkenaan dengan Peristiwa Paniai 2014. Dengan situasi narasi seperti saat ini, korban kembali mendapat ketidakadilan seperti stigma buruk yang dijadikan dalih para aparat untuk melakukan pelanggaran HAM berat. Pengadilan HAM harus menjadi ruang bagi suara korban dan publik serta Negara untuk mengoreksi dan mengevaluasi individu dan institusi Negara agar tidak lagi memproduksi pelanggaran HAM di hari ini dan masa depan.
3 Oktober 2022
Koalisi Masyarakat Sipil Pemantau Paniai 2014