Mendukung Kuasa Rakyat Melawan Kuasa Tambang di Wawonii : Hentikan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Warga Penolak Tambang Wawonii

Rilis Pernyataan Sikap Kontras Sulawesi

Kronologis Singkat

Situasi konflik antara masyarakat Wawonii penolak tambang dengan perusahaan tambang makin memanas. Setelah berkali-kali mengalami desakan dan berbagai upaya perlawanan terhadap aktivitas pertambangan yang mengancam wilayah kelola masyarakat sejak 2019. Gerakan perlawanan ini didominasi oleh penolakan kelompok ibu-ibu yang menolak keras aktivitas masuknya alat berat pertambangan nikel yang diduga milik perusahaan PT Gema Kreasi Perdana yang menerobos paksa dengan dikawal aparat kepolisian yang akan mulai menggusur lahan-lahan warga.

Tensi konflik kembali mencuat pada hari Kamis, tanggal 3 Maret 2022, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group kembali melakukan penyerobotan lahan milik warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Penyerobotan lahan yang menggunakan excavator oleh PT GKP ini melibatkan aparat kepolisian bersenjata lengkap dan TNI.

Data yang terhimpun dari berbagai aliansi yang mendukung advokasi masyarakat Wawonii mencatatan bahwa penerobosan oleh PT GKP hari ini terjadi di lahan milik La Dani dan Sahria, warga penolak tambang di Roko-Roko Raya yang enggan menyerahkan lahannya untuk perusahaan. Melansir data YLBHI yang menyatakan bahwa upaya penyerobotan ini bukanlah yang pertama, melainkan telah lima kali dilakukan, sejak: pertama, Selasa, 9 Juli 2019, sekitar Pkl. 11.00 Wita di lahan milik Ibu Marwah; kedua, Selasa, 16 Juli 2019, sekitar Pkl. 15.00 di lahan milik Bapak Idris; ketiga, Kamis, 22 Agustus 2019 di lahan milik Pak Amin, Bu Wa Ana, dan Pak Labaa (Alm); keempat, pada Selasa, 1 Maret 2022 di lahan milik Pak La Dani dan Bu Sahria.

Penyerobotan berulang ini sebagai bentuk upaya paksa PT GKP dalam membangun jalan tambang menuju lahan yang sudah dibebaskan dan konsesi tambang. Akibatnya, tanaman perkebunan produktif warga rusak parah, sementara warga yang melawan diintimidasi dan dikriminalisasi hingga mendekam di sel tahanan dan di penjara.

Pihak perusahaan pun mengklaim sepihak lahan milik La Dani dan Sahria, bahwasannya lahan itu milik seorang warga (P) dan telah dibebaskan oleh pihak perusahaan. Padahal, lahan-lahan itu telah dikelola selama tiga generasi oleh keluarga La Dani dan Sahria, juga selalu membayar pajak atas tanah setiap tahunnya. Bahkan, jauh sebelum PT GKP masuk, tak pernah ada saling klaim atas tanah, apalagi menimbulkan konflik di tengah masyarakat.

Demikian juga dengan 28 warga yang dikriminalisasi. Polisi, dengan dalih laporan dari pihak perusahaan, justru menyasar warga terlapor yang memiliki lahan di Roko-Roko Raya. Pada 24 Januari 2022 kemarin, misalnya, polisi menangkap tiga warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, masing-masing atas nama Hurlan, dan Hastoma, dan La Dani. Pasca ditangkap dan ditahan di Polda Sultra, perusahaan melakukan penyerobotan di lahan La Dani pada Selasa, 1 Maret dan Kamis, 3 Maret hari ini.

Praktek Kekerasan oleh Perusahaan Tambang dan Pengabaian oleh Aparat Kepolisian dan TNI

Kontras Sulawesi melihat bahwa tindakan yang terjadi hari ini ialah manifetasi dari upaya peminggiran masyarakat dari ruang kelola hidup mereka atas nama investasi pertambangan yang disertai dengan tindakan kekerasan dan upaya perampasan ruang hidup secara sistematis. Kontras Sulawesi mengecam segala bentuk tindakan brutalitas dan kekerasan terhadap warga negara yang hak-haknya diabaikan oleh negara.

Tindakan kekerasan dan ancaman di lapangan semakin meningkatkan tensi konflik dengan penggunaan kekuatan alat keamanan negara secara berlebihan dan sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran-pelanggaran HAM seperti perlakuan intimidatif, tindakan kriminalisasi, menimbulkan rasa takut dan trauma berlebih, serta perlakuan tidak manusiawi lainnya.

Keterlibatan dan keberpihakan aparat keamanan baik dari institusi Polri maupun TNI dalam mengamankan kepentingan bisnis tambang PT GKP di Wawonii juga tidak terlepas instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kapolri mengenai pengamanan bisnis/investasi di berbagai daerah.

Tindakan penyerobotan berulang tanpa ada tindakan hukum apapun menunjukkan betapa lemahnya upaya penegakan hukum bagi masyarakat ketika aparat kepolisian dan TNI cenderung menjadi alat untuk menjamin kelancaran aktivitas korporasi tambang, dari pada mengayomi dan melindungi rakyat itu sendiri.

Demikian juga pemerintah pusat dan daerah, alih-alih menindak tegas tindak kejahatan PT GKP, justru turut memfasilitasi, bahkan ada upaya pembiaran sehingga warga berjuang sendirian menyelamatkan tanah-ruang hidupnya. Hal ini terlihat dari langkah Pemkab Konkep yang telah meneken MOU (memorandum of understanding) dengan PT GKP ihwal komitmen investasi di Pulau Wawonii pada Kamis, 30 September 2021. MoU ini merupakan tindak lanjut pasca Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Konawe Kepulauan disahkan 2021 lalu, dimana sudah ada alokasi ruang untuk investasi pertambangan di pulau kecil itu.

Tak berhenti di situ, Pemkab Konkep melalui Wakil Bupati bahkan ikut berupaya bernegosiasi dengan warga yang menolak, dengan tujuan perusahaan diberi ruang untuk masuk dan mulai menambang.

Tindakan pembiaran dan upaya mendorong investasi tambang di pulau kecil Wawonii, telah mengabaikan hak konstitusi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 3/PUU-VIII/2010. Dampaknya, masyarakat kehilangan akses dan melintas ruang hidupnya, terutama terkait aktivitas tambang di daratan yang menghancurkan perkebunan produktif warga, juga pembangunan pelabuhan khusus di pesisir dalam menunjang pertambangan di daratan yang, sesungguhnya tidak mendapat rekomendasi dari Dinas Perikanan dan Kelautan Sultra, berikut tidak sesuai peruntukan ruang.

Lebih lanjut, beroperasinya PT GKP di pulau kecil Wawonii akan berdampak pada kesulitan untuk mendapatkan air bersih dan sehat, berikut ekosistem pesisir (mangrove, terumbu karang, lamun dll) akan ikut tercemar dan rusak.

Situasi Krisis Agraria di Wawonii dan Semakin Kuatnya Kuasa Tambang Meminggirkan Rakyat dengan Kekerasan dan Perampasan Ruang Hidup

Melihat situasi di berbagai wilayah termasuk yang terjadi di Wawonii dimana masyarakat berhadapan langsung dengan korporasi pertambangan dengan berbagai tindakan kekerasan, perampasan ruang hidup, hingga pelanggaran hak asasi lainnya menujukkan bahwa saat ini kita tengah menghadapi kriris agraria yang didorong oleh semakin kuatnya kuasa korporasi tambang dan didukung oleh praktek pembiaran aparat keamanan dan pemerintah yang meminggirkan dan merampas ruang hidup mereka.

Melihat hal tersebut, Kontras Sulawesi menyatakan sikap:

  1. Mendesak Menteri ESDM untuk segera hentikan aktivitas PT GKP, evaluasi segera, dan cabut IUP yang telah diterbitkan;
  2. Mendesak Menteri KKP untuk segera mengevaluasi Pembangunan pelabuhan khusus lewat penimbunan pantai yang merombak Mangrove dan terumbu karang;
  3. Mendesak Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari untuk segera tarik seluruh aparat kepolisian dari lokasi;
  4. Mendesak Kapolri RI untuk menindak-tegas Kapolda Sulawesi Tenggara dan Kapolres Kendari yang membiarkan pasukannya mengkawal PT GKP dalam melakukan penerobosan lahan milik warga;
  5. Mendesak Pangdam XIV/Hasanuddin untuk menarik seluruh pasukannya dan menghukum dengan maksimal atas upaya tindakan perbantuan penyerobotan lahan di pulau Wawonii oleh perusahaan tambang PT. GKP;
  6. Mendesak Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan Komnas Anak untuk segera lakukan investigasi atas dugaan tindak kejahatan kemanusiaan yang dilakukan PT GKP dan aparat kepolisian di Sulawesi Tenggara;
  7. Mendesak Gubernur Sulawesi Tenggara dan Bupati Konawe Kepulauan untuk menjalankan amanat UU nomor 7 tahun 2016 terkait Perlindungan dan Pemberdayaan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil;

Kontras Sulawesi juga secara tegas menyatakan mendukung perlawanan perlawanan warga penolak tambang di Roko-Roko Raya, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara terhadap aktivitas PT Gema Kreasi Perdana (GKP), anak perusahaan Harita Group. Kuasa rakyat Wawonii melawan kuasa tambang adalah kekuatan penting untuk memastikan warga untuk tetap dapat menikmati ruang hidup mereka secara layak.

Makassar, 3 Maret 2022

Asyari Mukrim

Kontras Sulawesi

Mengecam Penangkapan dan Penenggelaman Kapal Nelayan Kodingareng

RILIS PERNYATAAN SIKAP

MENGECAM PENANGKAPAN DAN PENENGGELAMAN KAPAL SECARA SEWENANG-WENANG OLEH POLAIR POLDA SULSEL TERHADAP NELAYAN KODINGARENG

Tindakan represif kembali dilakukan oleh Direktorat Kepolisian Perairan (Polair) Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan. Setelah sebelumnya melakukan penangkapan kepada nelayan Kepulauan Kondigareng atas nama Manre (40), hari ini Polair kembali melakukan penangkapan dan penenggelaman kapal secara sewenang-wenang terhadap nelayan. Peristiwa tersebut terjadi pada hari Minggu 23 Agustus 2020, saat puluhan nelayan Kepulauan Kodingareng, Kecamatan Sangkarang tetap melaut untuk mencari nafkah. Sekitar pukul 10.00 WITA Kapal Queen of Nederlands milik PT. Boskalis kembali melakukan aktivitas pengerukan pasir laut di wilayah tangkap nelayan.

Sekitar pukul 14.00 WITA, posisi antar kapal nelayan dan kapal pengeruk pasir laut semakin saling berdekatan. Tak berselang lama, puluhan anggota Polair Polda Sulsel datang dengan menggunakan satu kapal perang dan empat sekoci. Terjadi adu mulut antara pihak Dit Polair Polda Sulsel dengan para nelayan yang menolak ditangkap karena merasa tidak melakukan tindak pidana. Beberapa kali terdengar suara tembakan, Polair Polda Sulsel kemudian mengancam akan menenggelamkan kapal milik nelayan. Dari puluhan nelayan yang berada di lokasi yang kejadian, tiga orang nelayan atas nama Sahar, Baharuddin dan Faisal ditangkap dan dibawa ke Kantor Polair Polda Sulsel, sementara itu Direktorat Polair Polda Sulsel menenggelamkan dua kapal dan  merusak sebuah kapal milik nelayan lainnya.

Tindakan represif berupa penangkapan yang dilakukan oleh Polair Polda Sulsel yang disertai dengan pengancaman, pengrusakan, dan penenggelaman kapal serta tidak menjelaskan alasan mengapa melakukan penangkapan patut diduga bertentangan pasal 11 ayat 1 huruf (b) Peraturan Kapolri No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Selain itu penangkapan yang tidak disertai dengan surat perintah penangkapan atau setidak-tidaknya menjelaskan alasan dilakukannya penangkapan juga patut diduga melanggar pasal 18 ayat (1) dan (3) KUHAP. Penangkapan sewenang-wenang dan pengruskan kapal milik nelayan ini juga mengancam sumber penghidupan keluarga nelayan dan berpotensi menjadi pelanggaran HAM yang sistematis.

Berdasarkan situasi tersebut, KontraS Sulawesi menyatakan sikap mengecam dan menuntut:

  1. Mendesak Kapolda Sulsel mencopot Direktur Polair Polda Sulsel atas tindakan represif yang dilakukannya terhadap nelayan Kepulauan Kodingareng.
  2. Direktorat Polair Polda Sulsel untuk membebaskan segera nelayan yang ditangkap sewenang-wenang dan hentikan segala bentuk dikriminalisasi nelayan Kodingareng.
  3. Hentikan segala bentuk tindakan represif terhadap nelayan yang menyampaikan aspirasi mereka terkait penolakan aktivitas penambangan pasir di wilayah tangkap nelayan Kodingareng.

 

Badan Pekerja KontraS Sulawesi

Asyari Mukrim

Nurdin Agraya

Hentikan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Masyarakat Adat Kajang

Rilis Peryataan Sikap

Hentikan Segala Bentuk Kekerasan dan Perampasan Hak dalam Konflik Agraria PT. PP Lonsum dan Petani dan Masyarakat Adat Kajang Bulukumba

Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan serius yang dikutuk oleh masyarakat internasional dan dikatakan sebagai kejahatan “hostis humanis generis”, musuh umat manusia. Negara bertanggung jawab atas segala bentuk perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak asasi manusia rakyat Indonesia dari segala bentuk kejahatan kemanusiaan yang menjatuhkan dan merendahkan nilai-nilai kemanusian. Pemahaman dan keyakinan ini menjadi penting untuk didudukkan kembali dengan melihat situasi yang sedang dihadapi oleh petani dan Masyarakat Adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Sejak 24 September 2018, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) cabang Bulukumba, bersama petani dan masyarakat adat Ammatoa Kajang, dan warga dari beberapa desa menduduki wilayah HGU PT. London Sumatera (Lonsum) Bulukumba. Warga yang menduduki lahan, ada sekitar 800 orang, datang dari desa Bonto Biraeng, Tambangang, Bonto Mangiring, Tamatto, Bonto Sunggu, Sangkala, Karassing, Balleanging, dan Bonto Baji. Mereka mendirikan 40 tenda di lahan HGU sebagai tempat penginapan. Pendudukan itu dilakukan di kawasan Bukit Madu, desa Tamatto. Selama aksi berlangsung, mereka mengadakan diskusi dan berkunjung ke kantor Bupati Bulukumba untuk mendesak tim kecil yang sudah disepakati agar turun meninjau lokasi.

London Sumatera (Lonsum) Bulukumba terlibat kasus perampasan tanah ulayat masyarakat Adat Ammatoa Kajang seluas 2.853 Ha yang tersebar di 4 kecamatan, yaitu Kec. Kajang, Kec. Herlang, Kec.Ujungloe, Dan Kec. Bulukumpa sejak keberadaanya tahun 1919 . Berdasarkan Perda No. 9 Tahun 2015 dengan jelas dan terang membuktikan bahwa sebagian HGU milik PT.Lonsum Bulukumba berada dalam wilayah Adat Ammatoa Kajang yang dirampas oleh PT. Lonsum. Sampai saat ini, masyarakat adat Ammatoa Kajang masih terus berjuang mengeluarkan tanah mereka dari belenggu perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat adat Kajang Bulukumba.

Hari ini, Sabtu, 2 Maret 2019. PT. Lonsum melalui pihak Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) PT. PP London Sumatera Indonesia, Tbk cabang Palangsiang Estate memaksakan untuk melakukan penanaman dan pembongkaran rumah-rumah warga dengan melibatkan Aparat Kepolisan dan TNI didalamnya. Situasi ini kami anggap sebagai upaya politik pecah bela antara masyarakat dan karyawan PT. PP Lonsum yang berusaha memperkeruh kondisi dengan melakukan tindakan intimidasi serta kekerasan terhadap petani yang bertahan dalam lokasi pendudukan.

Dalam upaya mediasi yang dilakukan bersama pihak masyarakat, PT. PP London Sumatera dan pemerintah Kabupaten Bulukumba, PT. PP Lonsum terpaksa harus menunda penanamannya selama 3 Minggu. Dan saat ini, Lonsum tidak mau berkompromi lagi meskipun sebenarnya tahapan mediasi masih berjalan. Kamis 28 Februari 2019, Wakil Bupati dalam kunjungannya bersama Polres dan Dandim masih berjanji akan berupaya bertemu dengan Ammatoa sebagai Ketua Adat. Yang artinya proses mediasi ini sebenarnya belum selesai. Namun, Lonsum tidak memperdulikan hal tersebut.

Sebelumnya praktik perampasan lahan kembali terjadi pada hari Kamis, 17 Januari 2019. Lahan yang diklaim oleh masyarakat kembali ditanami karet oleh PT.Lonsum. Selain merusak, PT. Lonsum juga merusak 12 rumah kebun milik masyakat Adat Ammatoa Kajang. Hal serupa juga terjadi di lokasi Bonto Mangiring. Lahan yang telah ditanami jagung oleh masyarakat, belakangan ini kembali ditanami karet oleh PT. Lonsum Bulukumba, situasi yang semestinya tidak dilakukan untuk memenuhi rasa keadilan terhadap masyarakat adat Kajang yang sedang menjalani proses mediasi.

Segala bentuk perampasan dan tindakan kekerasan politik terhadap masyarakat Adat dan masyarakat yang merasakan dampak perampasan lahan oleh PP. Lonsum adalah pengabaian terhadap UU Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menjamin keadilan atas sumber penghidupan bagi kemamakmuran rakyat. Lebih jauh, situasi ini menujukkan sikap pemerintah yang abai terhadap UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya yang mestinya memberikan jaminan bagi segenap rakyat Indonesia untuk mendapatkan keadilan dan kesejahteraan atas sumber penghidupan yang layak dan bermartabat.

Kami juga mencatat, dengan melihat bagaimana masyarakat adat Ammatoa Kajang sebagai salah satu entitas sosial yang dirugikan dalam perampasan tanah ini, bahwa pemerintah melalui berbagai institusi yang terkait tidak menghormati Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat (UNDRIP) yang menjadi deklrasi universal terkait perlindungan Masyarakat Adat.

Berangkat dari situasi tersebut, Kontras Sulawesi menyatakan sikap keras mengutuk dan menuntut ;

  1. Pihak Kepolisian melalui Polda Sulawesi Selatan dan Polres Bulukumba untuk menindak tegas pekerja PT. PP Lonsum yang melakukan perusakan dengan membongkar paksa rumah-rumah warga. karena tidak memiliki hak dan wewenang.
  2. Memastikan proses hukum yang adil dan terbuka bagi masyarakat adat Kajang dan masyarakat yang melakukan pendudukan terhadap karyawan dan pekerja PT. PP Lonsum yg melakukan perusakan dengan membongkar rumah-rumah warga dan lahan masyarakat yang telah ditanami karena tidak memliki hak dan wewenang sesuai dengan kesepakatan mediasi.
  3. Menuntut Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba untuk bersikap tegas terhadap kesepakatan dalam proses mediasi serta terhadap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh PT. PP Lonsum.
  4. Menyelesiakan segera konflik agraria masyarakat adat Kajang dan masyarakat yang berhadapan dengan PT. PP London Sumatera serta segala tindakan kekerasan terhadap petani dan masyarakat adat Kajang, Kabupaten Bulukumba.

Melalui penyataan sikap ini, Kontras Sulawesi menyatakan bahwa segala bentuk penindasan dan penghancuran sumber penghidupan masyarakat Indonesia sebagai tindakan tidak manusiawi dan harus segera dihentikan.

 

Makassar, 2 Maret 2019

Badan Pekerja Kontras Sulawesi

Asyari Mukrim

Plt. Koordinator Kontras Sulawesi