CATATAN HARI HAM INTERNASIONAL 2021: MELAWAN KEPUNGAN REPRESIFITAS OLIGARKI DAN PANDEMI IMPUNITAS DI INDONESIA

Refleksi atas Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Sulawesi

Tahun 2021 menjelang berakhir. Di pengujung tahun ini, Kontras Sulawesi memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 10 Desember 2021 dengan menyajikan catatan singkap terkait situasi dan kondisi pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di wilayah Sulawesi secara umum sepanjang tahun 2021. Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung dan merampas hak-hak dasar rakyat Indonesia. Kami menuliskan catatan singkat kami terkait situasi HAM yang kami lihat sebagai situasi yang tidak punya arah dan komitmen oleh negara.

Dalam satu tahun ini, tren kekerasan yang dilakukan oleh negara masih terus berlangsung di berbagai sektor isu. Upaya penegakan HAM dalam satu tahun terakhir cenderung diabaikan, hal ini ditandai dengan semakin bebalnya negara untuk tetap menerapkan kebijakan yang dikritik oleh masyarakat. Sebaliknya, upaya untuk menuntut keadilan dan pemenuhan hak atas demokrasi yang sejati cenderung dihadapkan dengan watak yang otoriter, baik yang muncul pada level kebijakan maupun pada situasi di lapangan. Upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus terkubur dan penegakan hukum masih menjadi jalan gelap yang mesti ditempuh.

Dalam pandangan kami, negara sedang menuju situasi yang semakin anti nilai-nilai HAM. Upaya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semakin terancam. Ancaman tersebut hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM, baik hak-hak yang masuk dalam kategori Hak Sipil dan Politik (Sipol) maupun Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Semakin meningkatnya kekerasan di berbagai level menjadi penanda bahaya bagi keberlangsungan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Oligarki dan Impunitas Menguatkan Situasi Krisis Kebebasan Sipil

Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh DPR RI, dan kini menjadi produk hukum yang inkonstitusional, telah memicu gelombang demonstrasi yang juga berlangsung di berbagai wilayah. Aksi-aksi yang terjadi banyak menimbulkan kekerasan terhadap massa aksi dan itu kerap dilakukan oleh aparat polisi. Kekerasan tidak berhenti pada saat aksi namun juga setelah gelombang penolakan omnibus law bergulir. Ini menjadi pertanda semakin buruknya pemberian ruang aspirasi yang aman bagi warga negara.

Kasus-kasus kekerasan yang terjadi selama masa penolakan omnibus law di antaranya adalah penangkapan massa aksi, kekerasan fisik oleh aparat, pembubaran aksi, dan salah tangkap. Di Makassar, massa aksi yang ditangkap kemudian ditahan dan diinterogasi sewenang-wenang tanpa bantuan hukum. Padahal terdapat prosedur dan hak bagi yang ditangkap untuk memperoleh pendampingan hukum. Beberapa dari korban telah dikeluarkan, namun tetap saja itu berdampak bagi psikologis korban dan stigma sosial yang mereka peroleh. Total yang ditangkap atau masih dinyatakan hilang berdasarkan pengaduan dan laporan  sebanyak 57 orang yang terdiri dari 40 Mahasiswa, 13 pelajar – usia anak,  dan 4 pekerja.

Omnibus Law hanyalah sebuah simbol dari cara berpikir negara yang memberi ruang bagi praktek pembangunan yang tidak ramah lingkungan, melanggar HAM, dan menjadi ruang akumulasi kapital bagi segelintir orang saja. Dan untuk mewujudkan itu semua, negara memaklumi berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang menyatakan pendapatnya yang berbeda. Situasi ini juga diperparah dengan situasi pandemi yang masih terus berlangsung dan memaksa banyak orang untuk bertahan hidup tanpa adanya jaminan perlindungan dan kesehatan yang layak.

Kontras Sulawesi mencatat beberapa kasus yang terjadi dan menjadi catatan refleksi antara lain:

  1. Kekerasan Ekstremisme

Salah satu tantangan terbesar pada Hak Asasi Manusia hari ini adalah kemunculan aksi terorisme dan ekstremisme kekerasan. Pada rentang waktu 2000-2021 terdapat 533 kasus teror di Indonesia. Pola kekerasan yang dilakukan dalam aksi tersebut hampir sama yakni dengan membawa isu agama tertentu dan penyerangan atas simbol. Selain itu, perkembangan aksi kekerasan ekstrimisme di Indonesia merekrut perempuan untuk ikut dalam tindakan kekerasan.

Sulawesi menjadi salah satu wilayah dengan tingkat tindakan ekstremisme kekerasan tertinggi di wilayah Indonesia Timur. Sepanjang tahun 2021 terdapat dua kasus besar yang menandai munculnya kembali ekstremisme kekerasan  dan terorisme yakni kasus pengeboman Gereja Katedral pada Maret 2021 yang menyebabkan 14 orang terluka dan Kasus Poso, Sulawesi Tengah, yang terus berlanjut hingga saat ini. Kasus-kasus tersebut menyebabkan kematian, luka-luka, kehancuran infrastruktur, dan ancaman keamanan bagi warga sipil.

Kasus ekstrimisme kekerasan harus mendapatkan upaya yang lebih serius dan optimal dari negara, termasuk membongkar jaringan pelaku. Ekstremisme kekerasan adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan dan berdampak besar bagi perdamaian. Negara harus bertanggung jawab untuk mewujudkan hak atas rasa aman kepada warga negara terutama di wilayah yang rentan terjadi aksi kekerasan oleh ekstrimis. Ekstremisme kekerasan tidak hanya mencabut hak sipil politik warga negara, tetapi juga berdampak pada pemenuhan hak ekonomi sosial budaya.

  1. Ancaman Otoritarianisme Digital dan Ancaman KBGO

Otoritarianisme digital merupakan penekanan kekuasaan dari negara yang melanggar kebebasan individu secara digital. Penekanan negara atas aktivitas digital warga negaranya meliputi tiga bentuk yakni penyensoran daring, pengawasan siber, dan upaya kontrol terhadap infrastruktur digital. Di Indonesia upaya penekanan terkait hak digital warga negaranya ditandai dengan kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berisikan pasal karet dan menjadi senjata yang sering dipakai dalam pembungkaman kebebasan berekspresi dan perbedaan pendapat yang sah.

Sejak pemerintahan terpilih pada tahun 2014 hingga masa pandemi Covid-19 potensi lahirnya otoritarianisme digital semakin mendekati dan mengancam hak digital warga negara. Hal ini ditandai dengan semakin banyak warga yang didakwa menggunakan UU ITE, Polisi berpatroli di internet, serta serangan digital kepada aktivis, jurnalis, dan akademisi yang melayangkan kritik secara sah untuk pemerintah. Selain itu gelombang baru ancaman dan serangan digital kini menyasar epidemiolog, organisasi masyarakat sipil, dan juga media yang mengkritisi kebijakan kesehatan.

Sepanjang Maret – April 2021, KontraS Sulawesi mengadakan survei untuk melihat secara mendasar penggunaan internet dan pengetahuan mengenai Hak Digital di Sulawesi Selatan. Melalui 233 orang responden di 15 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, kami mencatat bahwa situasi hak digital di Sulawesi Selatan tidak baik-baik saja yang ditandai dengan berbagai kasus penipuan online, pencurian akun, penyebarluasan data pribadi, penyadapan media komunikasi digital, Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO), dan ancaman digital lainnya.

Selain itu penetrasi penggunaan internet Sulawesi Selatan yang sangat tinggi di Indonesia Timur tidak dibarengi dengan pengadaan kebijakan dan regulasi untuk melindungi dan melakukan pencegahan pelanggaran hak digital. Tidak adanya peran negara untuk menyediakan perlindungan hak digital akan menambah kekhawatiran dan kerentanan bagi warga negara.

Otoritarianisme digital menjadi ancaman bagi hak asasi manusia dan kebebasan sipil khususnya pemanfaatan ruang media sosial dan internet. Hal ini juga terkait dengan pelanggaran hak kebebasan berkumpul, hak untuk kebebasan berekspresi, hak atas rasa aman, dan juga hak atas privasi baik luring ataupun daring.  Otoritarianisme digital melanggar prinsip-prinsip negara demokrasi dan hak asasi manusia secara fundamental.

Dampak persoalan lain yang menjadi catatan dalam persoalan aktivitas hak digital kita adalah ancaman kekerasan berbasis gender online. Tingkat kekerasan gender online yang cukup tinggi semakin diperparah dengan tidak adanya mekanisme hukum serta masih minimnya pengetahuan terkait hak digital juga menjadi tantangan ke depannya. Hal ini berlangsung dalam berbagai bentuk yang berhasil didokumentasikan oleh Kontras Sulawesi melalui narasi hasil survey Hak-Hak Digital di Sulawesi Selatan.

  1. Bencana dan Minimnya Perlindungan Kesalamatan Rakyat

Sepanjang tahun 2021 berbagai macam bencana terjadi dan menjadi cobaan sekaligus tantangan bagi negara untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah bertanggung jawab untuk mitigasi bencana, memenuhi kebutuhan dasar, memberikan pelayanan umum, dan memberikan perlindungan atas dampak bencana bagi warga negara. Kami mengklasifikasikan bencana sepanjang tahun ini menjadi dua kategori besar yakni bencana alam dan Pandemi Covid-19.

Sulawesi menjadi salah satu pulau dengan kerentanan bencana alam seperti banjir, tanah longsong, puting beliung, tsunami, dan kekeringan yang cukup tinggi di Indonesia. Bencana tersebut merupakan dampak dari krisis iklim yang terjadi akibat alih fungsi lahan menjadi kelapa sawit, pengerukan pasir laut, eksploitasi hutan dan sumber daya alam, dan pembukaan tambang. Persoalan-persoalan penyebab krisis iklim ini malah kemudian difasilitasi negara dengan kemudahan investasi dan peniadaan AMDAL melalui penerapan Omnibus Law yang tidak berperspektif lingkungan dan menindas masyarakat kecil. Salah satu contoh yang terjadi di Sulawesi Selatan adalah pengerukan pasir di Takalar menyebabkan kerusakan ekosistem laut dan abrasi pantai. Rusaknya alam berdampak langsung kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada produksi langsung seperti petani dan nelayan.

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan sebagai tanggapan terhadap masalah ini. Namun kebijakan tersebut cenderung kontroversial dan tidak relevan dengan penanganan Covid-19. Selain itu sering kali penanganan Covid-19 menggunakan kekerasan dan militerisme dalam pelaksanaannya. Beberapa aksi penertiban protokol kesehatan harus berujung pada kerusuhan antara aparat dan warga.  Seperti pada masa PPKM 2021 terdapat pemukulan yang dilakukan oleh Satpol PP kepada perempuan pemilik warung kopi di Kabupaten Gowa.

  1. Darurat Agraria

Ketimpangan penguasaan tanah menjadi akar masalah agraria di Indonesia. Watak monopoli tanah oleh perusahaan yang cenderung difasilitasi negara menjadi salah satu dari sekian banyak sumber konflik. Penguasaan tanah oleh korporasi sangat jomplang jika dibandingkan dengan tanah kelola rakyat. Belum lagi dampak dari aktivitas perusahaan seringkali sangat merugikan masyarakat sekitar wilayah perusahaan. Masyarakat yang memperjuangkan wilayah kelola atau kondisi lingkungan yang layak seringkali mendapat represi oleh aparat atau oknum perusahaan.

Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Sulawesi, situasi agraria juga semakin rumit. Berbagai bentuk kekerasan hingga kriminalisasi terhadap orang yang memperjuangkan ruang penghidupannya terjadi sepanjang tahun 2021. Di Gowa, Sulawesi selatan, seorang petani dan aktivis agraria mendapat tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian di atas Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Di Sulawesi Tengah, warga dari beberapa desa di kec. Pamona sedang berjuang melawan PT. Poso Energy yang menguji coba bendungan PLTA pada tahun 2020 dan membuat 85 Ha sawah warga terendam. Hal itu membuat warga tidak bisa menanam padi selama tiga kali musim tanam sepanjang 2020 hingga awal 2021.

  1. Kekerasan dan Extrajudicial Killing di Sulawesi Selatan

Praktik kekerasan hingga extrajudicial killing masih marak terjadi di sepanjang tahun 2021. Dalam penanganan pandemi Covid-19 misalnya, pendekatan represif penuh kekerasan masih sering dipraktekkan oleh aparat negara dalam mengupayakan pembatasan mobilitas masyarakat untuk meminimalisir penyebaran virus. Bukan malah mengupayakan jaminan kebutuhan dasar sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan tertuang Undang-Undang Karantina Kesehatan.

Dalam catatan lainnya, KontraS Sulawesi bersama LBH Makassar mencatat setidaknya empat kasus penganiayaan dan pembunuhan di luar hukum yang terjadi beberapa tahun belakangan namun hingga tahun 2021 belum menemui titik terang. Kesemua kasus tersebut terjadi di wilayah hukum Polda Sulawesi Selatan dan diduga kuat pelakunya adalah anggota Polisi dalam menjalankan tugasnya. Proses penyidikan dalam beberapa kasus sudah berjalan namun sangat lambat dan disinyalir sengaja dihambat. Beberapa temuan menunjukkan  bahwa ada upaya menghentikan penyidikan dengan pemberian uang kepada ahli waris korban hingga menjanjikan jaminan kelulusan jika ada keluarga korban yang mendaftar Polisi.

KontraS Sulawesi juga mencatat adanya dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi terhadap dua orang anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses pemeriksaan terkait kasus pencurian telepon genggam dan sejumlah uang tunai. Proses penyidikan dan penyelidikan yang seharusnya berjalan dengan prinsip penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia terduga pelaku justru malah sebaliknya. Belum lagi terduga pelaku adalah anak dibawa umur yang sudah seharusnya mendapat perlindungan lebih demi kepentingan masa depan anak.

Catatan di atas menunjukkan bahwa kepolisian dalam hal ini Polda Sulsel gagal memastikan bahwa anggotanya mengimplementasikan peraturan-peraturan internal seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Proses penyelesaian kasus yang lambat dan cenderung dihambat menunjukkan praktek impunitas yang mengakar kuat dalam institusi kepolisian yang bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan semangat reformasi institusi kepolisian.

  1. Ancaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Hari HAM tahun 2021 juga turut dirayakan oleh Kepolisian RI dengan mengadakan Lomba Orasi yang bagi kami adalah sebuah gimmick semata. Praktek ini juga menjadi bagian dari upaya kanalisasi kebebasan. Berbarengan dengan itu semua, ancaman juga tampak ketika semakin maraknya aksi pembubaran aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ormas dan aparat keamanan.  Situasi ini secara singkat menujukkan bagaimana pola perlindungan terhadap kebebasan berpendapat menjadi minim dan terkesan menimbulkan pengabaian oleh Kepolisian RI.

Di Makassar, praktek ini dapat ditelusuri pada tindakan arogan yang dilakukan Ormas terhadap puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Mahasiswa Papua saat berdemonstrasi di Jalan Andi Pangeran Pettarani Makassar, Selasa 26 Oktober 2021 serta pada peristiwa pembubaran aksi peringatan 23 tahun reformasi oleh Fraksi Rakyat Indonesia pada tanggal 21 Mei 2021 oleh ormas. Pembubaran ini dilakukan di tengah banyaknya aparat kepolisian berseragam maupun yang tidak berseragam yang berada di lokasi aksi peringatan 23 tahun reformasi di bawah jembatan layang (Fly Over) kota Makassar.

Tak ada upaya dari aparat kepolisian menghentikan tindakan pengancaman, kekerasan dan pembubaran aksi oleh pelaku, bahkan beberapa anggota polisi juga terlibat meneriaki dan mengancam memukul salah satu massa aksi yang berorasi. Mereka memaksa naik ke mobil komando dan menunjuk-nunjuk salah satu massa aksi yang berorasi. Sangat disayangkan, keberadaan polisi yang dengan jumlah yang cukup tak mengambil tindakan apapun untuk menghalau upaya intimidasi, tindakan kekerasan dan pembubaran aksi yang baru berlangsung sekitar 15 menit.

Merebut Kedaulatan Sipil dan Konsolidasi Gerakan HAM

Pasca dua tahun kepemimpinan Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang jatuh pada 20 Oktober 2021, Kontras Sulawesi melihat bahwa situasi dan kondisi demokrasi justru semakin memburuk ditunjukan dengan Negara yang kian abai dengan tanggung jawabnya dalam melindungi, menghormati dan memenuhi HAM sebagaimana mandat konstitusi serta instrumen hukum HAM nasional maupun internasional.

Dalam kasus-kasus diatas, kami bisa menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia dalam dua tahun dibawah kepemimpinan Jokowi telah mengalami kemunduran secara signifikan. Situasi di level juga semakin memburuk, apabila hal ini terus berlanjut dan dibiarkan, maka situasi demokrasi di Indonesia akan berada pada titik nadirnya dan kita mesti mengulang sejarah kekerasan politik di masa lalu.

Upaya pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan HAM di Indonesia mesti dilakukan dengan memastikan pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin konsisten pada janji politik Nawacitanya dan menghapus segala bentuk impunitas yang masih langgeng hingga hari ini. Pertanggung jawaban negara untuk mengungkapkan kebenaran dan mewujudkan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM dan masyarakat yang tersingkirkan dari berbagai kebijakan pembangunan yang diskriminatif dan eksploitatif mesti dijamin oleh negara.

Komitmen negara untuk memastikan cita-cita reformasi juga perlu terus kita tagih. Salah satunya ialah memastikan reformasi kemanan dan institusi Kepolisian sebagai bagian penting dari negara yang bertugas untuk mengayomi dan memastikan jaminan pemenuhan hukum dan keadilan dapat didapatkan dengan layak.

Kontras Sulawesi percaya bahwa upaya merebut kedaulatan sipil tersebut adalah sebuah perjalanan panjang yang harus dilalui. Hal ini mestinya berbarengan dengan semakin meluasnya konsolidasi dan pendidikan HAM di berbagai level sehingga mampu mewujudkan sebuah tatanan yang adil, berdaulat, dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Makassar, 10 Desember 2021

Badan Pekerja Kontras Sulawesi

Posted in Kampanye HAM, Laporan HAM, Siaran Pers.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *