Beberapa waktu terakhir, kasus serangan dan aksi teror kembali terjadi di Indonesia. Setidaknya telah terdapat dua kasus penyerangan, pertama adalah pengeboman Gereja Katedral di Makassar oleh pasangan suami istri, serta kasus kedua adalah penembakan di Mabes Polri oleh seorang perempuan. Kejadian ini terjadi pada Maret 2021 dan hanya berselang tiga hari dari serangan pertama dan kedua. Dua kasus ini memberikan peringatan bahwa sesungguhnya jaringan terorisme dengan menggunakan kekerasan masih terus ada.
Teror menggunakan kekerasan di Indonesia bukan hanya terjadi baru-baru ini. Sejak lama negara ini banyak terjadi kasus serupa, mulai dari daya rusak lemah hingga daya rusak kritikal seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom JW Marriot, Bom Kedubes Australia, serta Bom Gereja Santa Anna. Sejak tahun 2000–2021 telah terdapat 533 kasus aksi teror yang terjadi di Indonesia (Laporan Lab45.id, 2021). Kasus tersebut banyak membawa nama agama dan menyerang simbol tertentu.
Kasus-kasus teror dengan menggunakan kekerasan erat dikaitkan dengan violent extremism atau ekstremisme kekerasan. Dari berbagai referensi yang terhimpun, violent extremism didefinisikan sebagai sebuah tindakan mendorong, membenarkan, atau mendukung tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik, ideologis, ekonomi, sosial, atau agama. Kekerasan ini biasanya dianggap sebagai istilah yang lebih inklusif daripada terorisme, meskipun secara luas hampir sama penggunaannya.
Di berbagai negara violent extremism telah banyak terjadi. Violent extremism telah menggunakan berbagai simbol selama bertahun-tahun untuk memicu perasaan balas dendam dan kebencian. Kekerasan ini paling besar terjadi di Afghanistan, Nigeria, Suriah, Somalia, dan Yaman. Pelakunya berjejaring dan membentuk sebuah organisasi yang tujuannya memberikan teror kepada masyarakat dunia. Organisasi tersebut misalnya Negara Islam Irak dan Syam (NIIS), Jamaah Islamiah, Jamaah Asharut Khilafah (JAK) dan Jamaah Asharut Daullah (JAD) di Indonesia. Hingga sekarang jaringan tersebut belum bisa diputus rantai perkembangannya oleh Negara.
Violent extremism diyakini sangat berdampak buruk pada upaya perdamaian dan kemanusian. Negara harus bertanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak warga negaranya termasuk untuk menciptakan ruang yang aman dari kekerasan tersebut. Selain itu, organisasi masyarakat sipil juga harus berperan dalam mendorong perubahan kebijakan dan mendesiminasi pengetahuan mengenai pencegahan tindak kekerasan ekstremisme dan mempromosikan nilai kemanusian serta toleransi.
Diskusi ini dilaksanakan berdasarkan pembacaan pentingnya pendiskusian mengenai violent extremism agar mengenali kekerasan tersebut secara konseptual serta senantiasa memberikan perhatian dan mendorong peran negara guna memastikan lahirnya upaya yang komprehensif terkiat penanganan aksi ektremisme kekerasan di Indonesia.