RAKYAT BERJUANG SENDIRI DAN NEGARA SIBUK PEMILU DEMI PERPANJANGAN TANGAN OLIGARKI

Reportase HAM Akhir Tahun 2023 Kontras Sulawesi

Beragam catatan, pengalaman, dan refleksi coba dirangkum dalam Reportase HAM Akhir Tahun 2023 oleh Kontras Sulawesi. Berbagai persoalan menjadi perhatian, pada dasarnya tidak ada yang fenomena baru dari upaya negara yang masih terus melanggengkan impunitas dan segala bentuk represi dan perampasan hak dasar warga negara. 

Sepanjang tahun 2023, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan  (KontraS) Sulawesi menyoroti sejumlah persoalan berkaitan dengan penerapan dan dilematika Hak Asasi Manusia di Sulawesi. Beberapa isu diantaranya lika-liku penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, otoritarianisme digital, pembungkaman suara-suara demokrasi, isu krisis pengungsi, konflik agraria, hingga korban konflik Timor Leste di Indonesia.

Di tengah semua kerumitan ini, Kontras Sulawesi meyakini bahwa pada akhirnya kekuatan massa rakyat yang akan menjadi kekuatan penting untuk terus mengingatkan, menentang, hingga mengubah situasi ini demi masa depan kemanusiaan untuk semua. Membangun gerakan politik massa yang berpegang teguh pada nilai-nilai demokrasi dan HAM untuk negara yang lebih bermartabat. 

Karena pada akhirnya, rakyat berjuang sendiri dan negara hanya sibuk pemilu demi perpanjangan tangan oligarki.

Silahkan akses Reportase HAM 2023 Kontras Sulawesi.

CATATAN HARI HAM INTERNASIONAL 2021: MELAWAN KEPUNGAN REPRESIFITAS OLIGARKI DAN PANDEMI IMPUNITAS DI INDONESIA

Refleksi atas Kekerasan dan Pelanggaran HAM di Sulawesi

Tahun 2021 menjelang berakhir. Di pengujung tahun ini, Kontras Sulawesi memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) pada tanggal 10 Desember 2021 dengan menyajikan catatan singkap terkait situasi dan kondisi pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM di wilayah Sulawesi secara umum sepanjang tahun 2021. Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih terus berlangsung dan merampas hak-hak dasar rakyat Indonesia. Kami menuliskan catatan singkat kami terkait situasi HAM yang kami lihat sebagai situasi yang tidak punya arah dan komitmen oleh negara.

Dalam satu tahun ini, tren kekerasan yang dilakukan oleh negara masih terus berlangsung di berbagai sektor isu. Upaya penegakan HAM dalam satu tahun terakhir cenderung diabaikan, hal ini ditandai dengan semakin bebalnya negara untuk tetap menerapkan kebijakan yang dikritik oleh masyarakat. Sebaliknya, upaya untuk menuntut keadilan dan pemenuhan hak atas demokrasi yang sejati cenderung dihadapkan dengan watak yang otoriter, baik yang muncul pada level kebijakan maupun pada situasi di lapangan. Upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masih terus terkubur dan penegakan hukum masih menjadi jalan gelap yang mesti ditempuh.

Dalam pandangan kami, negara sedang menuju situasi yang semakin anti nilai-nilai HAM. Upaya pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan HAM semakin terancam. Ancaman tersebut hadir dalam bentuk legitimasi negara terhadap bentuk-bentuk pelanggaran HAM, baik hak-hak yang masuk dalam kategori Hak Sipil dan Politik (Sipol) maupun Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Semakin meningkatnya kekerasan di berbagai level menjadi penanda bahaya bagi keberlangsungan demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia.

Oligarki dan Impunitas Menguatkan Situasi Krisis Kebebasan Sipil

Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh DPR RI, dan kini menjadi produk hukum yang inkonstitusional, telah memicu gelombang demonstrasi yang juga berlangsung di berbagai wilayah. Aksi-aksi yang terjadi banyak menimbulkan kekerasan terhadap massa aksi dan itu kerap dilakukan oleh aparat polisi. Kekerasan tidak berhenti pada saat aksi namun juga setelah gelombang penolakan omnibus law bergulir. Ini menjadi pertanda semakin buruknya pemberian ruang aspirasi yang aman bagi warga negara.

Kasus-kasus kekerasan yang terjadi selama masa penolakan omnibus law di antaranya adalah penangkapan massa aksi, kekerasan fisik oleh aparat, pembubaran aksi, dan salah tangkap. Di Makassar, massa aksi yang ditangkap kemudian ditahan dan diinterogasi sewenang-wenang tanpa bantuan hukum. Padahal terdapat prosedur dan hak bagi yang ditangkap untuk memperoleh pendampingan hukum. Beberapa dari korban telah dikeluarkan, namun tetap saja itu berdampak bagi psikologis korban dan stigma sosial yang mereka peroleh. Total yang ditangkap atau masih dinyatakan hilang berdasarkan pengaduan dan laporan  sebanyak 57 orang yang terdiri dari 40 Mahasiswa, 13 pelajar – usia anak,  dan 4 pekerja.

Omnibus Law hanyalah sebuah simbol dari cara berpikir negara yang memberi ruang bagi praktek pembangunan yang tidak ramah lingkungan, melanggar HAM, dan menjadi ruang akumulasi kapital bagi segelintir orang saja. Dan untuk mewujudkan itu semua, negara memaklumi berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat yang menyatakan pendapatnya yang berbeda. Situasi ini juga diperparah dengan situasi pandemi yang masih terus berlangsung dan memaksa banyak orang untuk bertahan hidup tanpa adanya jaminan perlindungan dan kesehatan yang layak.

Kontras Sulawesi mencatat beberapa kasus yang terjadi dan menjadi catatan refleksi antara lain:

  1. Kekerasan Ekstremisme

Salah satu tantangan terbesar pada Hak Asasi Manusia hari ini adalah kemunculan aksi terorisme dan ekstremisme kekerasan. Pada rentang waktu 2000-2021 terdapat 533 kasus teror di Indonesia. Pola kekerasan yang dilakukan dalam aksi tersebut hampir sama yakni dengan membawa isu agama tertentu dan penyerangan atas simbol. Selain itu, perkembangan aksi kekerasan ekstrimisme di Indonesia merekrut perempuan untuk ikut dalam tindakan kekerasan.

Sulawesi menjadi salah satu wilayah dengan tingkat tindakan ekstremisme kekerasan tertinggi di wilayah Indonesia Timur. Sepanjang tahun 2021 terdapat dua kasus besar yang menandai munculnya kembali ekstremisme kekerasan  dan terorisme yakni kasus pengeboman Gereja Katedral pada Maret 2021 yang menyebabkan 14 orang terluka dan Kasus Poso, Sulawesi Tengah, yang terus berlanjut hingga saat ini. Kasus-kasus tersebut menyebabkan kematian, luka-luka, kehancuran infrastruktur, dan ancaman keamanan bagi warga sipil.

Kasus ekstrimisme kekerasan harus mendapatkan upaya yang lebih serius dan optimal dari negara, termasuk membongkar jaringan pelaku. Ekstremisme kekerasan adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan dan berdampak besar bagi perdamaian. Negara harus bertanggung jawab untuk mewujudkan hak atas rasa aman kepada warga negara terutama di wilayah yang rentan terjadi aksi kekerasan oleh ekstrimis. Ekstremisme kekerasan tidak hanya mencabut hak sipil politik warga negara, tetapi juga berdampak pada pemenuhan hak ekonomi sosial budaya.

  1. Ancaman Otoritarianisme Digital dan Ancaman KBGO

Otoritarianisme digital merupakan penekanan kekuasaan dari negara yang melanggar kebebasan individu secara digital. Penekanan negara atas aktivitas digital warga negaranya meliputi tiga bentuk yakni penyensoran daring, pengawasan siber, dan upaya kontrol terhadap infrastruktur digital. Di Indonesia upaya penekanan terkait hak digital warga negaranya ditandai dengan kehadiran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berisikan pasal karet dan menjadi senjata yang sering dipakai dalam pembungkaman kebebasan berekspresi dan perbedaan pendapat yang sah.

Sejak pemerintahan terpilih pada tahun 2014 hingga masa pandemi Covid-19 potensi lahirnya otoritarianisme digital semakin mendekati dan mengancam hak digital warga negara. Hal ini ditandai dengan semakin banyak warga yang didakwa menggunakan UU ITE, Polisi berpatroli di internet, serta serangan digital kepada aktivis, jurnalis, dan akademisi yang melayangkan kritik secara sah untuk pemerintah. Selain itu gelombang baru ancaman dan serangan digital kini menyasar epidemiolog, organisasi masyarakat sipil, dan juga media yang mengkritisi kebijakan kesehatan.

Sepanjang Maret – April 2021, KontraS Sulawesi mengadakan survei untuk melihat secara mendasar penggunaan internet dan pengetahuan mengenai Hak Digital di Sulawesi Selatan. Melalui 233 orang responden di 15 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, kami mencatat bahwa situasi hak digital di Sulawesi Selatan tidak baik-baik saja yang ditandai dengan berbagai kasus penipuan online, pencurian akun, penyebarluasan data pribadi, penyadapan media komunikasi digital, Kekerasan Gender Berbasis Online (KGBO), dan ancaman digital lainnya.

Selain itu penetrasi penggunaan internet Sulawesi Selatan yang sangat tinggi di Indonesia Timur tidak dibarengi dengan pengadaan kebijakan dan regulasi untuk melindungi dan melakukan pencegahan pelanggaran hak digital. Tidak adanya peran negara untuk menyediakan perlindungan hak digital akan menambah kekhawatiran dan kerentanan bagi warga negara.

Otoritarianisme digital menjadi ancaman bagi hak asasi manusia dan kebebasan sipil khususnya pemanfaatan ruang media sosial dan internet. Hal ini juga terkait dengan pelanggaran hak kebebasan berkumpul, hak untuk kebebasan berekspresi, hak atas rasa aman, dan juga hak atas privasi baik luring ataupun daring.  Otoritarianisme digital melanggar prinsip-prinsip negara demokrasi dan hak asasi manusia secara fundamental.

Dampak persoalan lain yang menjadi catatan dalam persoalan aktivitas hak digital kita adalah ancaman kekerasan berbasis gender online. Tingkat kekerasan gender online yang cukup tinggi semakin diperparah dengan tidak adanya mekanisme hukum serta masih minimnya pengetahuan terkait hak digital juga menjadi tantangan ke depannya. Hal ini berlangsung dalam berbagai bentuk yang berhasil didokumentasikan oleh Kontras Sulawesi melalui narasi hasil survey Hak-Hak Digital di Sulawesi Selatan.

  1. Bencana dan Minimnya Perlindungan Kesalamatan Rakyat

Sepanjang tahun 2021 berbagai macam bencana terjadi dan menjadi cobaan sekaligus tantangan bagi negara untuk mengatasi masalah tersebut. Pemerintah bertanggung jawab untuk mitigasi bencana, memenuhi kebutuhan dasar, memberikan pelayanan umum, dan memberikan perlindungan atas dampak bencana bagi warga negara. Kami mengklasifikasikan bencana sepanjang tahun ini menjadi dua kategori besar yakni bencana alam dan Pandemi Covid-19.

Sulawesi menjadi salah satu pulau dengan kerentanan bencana alam seperti banjir, tanah longsong, puting beliung, tsunami, dan kekeringan yang cukup tinggi di Indonesia. Bencana tersebut merupakan dampak dari krisis iklim yang terjadi akibat alih fungsi lahan menjadi kelapa sawit, pengerukan pasir laut, eksploitasi hutan dan sumber daya alam, dan pembukaan tambang. Persoalan-persoalan penyebab krisis iklim ini malah kemudian difasilitasi negara dengan kemudahan investasi dan peniadaan AMDAL melalui penerapan Omnibus Law yang tidak berperspektif lingkungan dan menindas masyarakat kecil. Salah satu contoh yang terjadi di Sulawesi Selatan adalah pengerukan pasir di Takalar menyebabkan kerusakan ekosistem laut dan abrasi pantai. Rusaknya alam berdampak langsung kepada masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada produksi langsung seperti petani dan nelayan.

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak tahun 2020 berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. Berbagai kebijakan telah dikeluarkan sebagai tanggapan terhadap masalah ini. Namun kebijakan tersebut cenderung kontroversial dan tidak relevan dengan penanganan Covid-19. Selain itu sering kali penanganan Covid-19 menggunakan kekerasan dan militerisme dalam pelaksanaannya. Beberapa aksi penertiban protokol kesehatan harus berujung pada kerusuhan antara aparat dan warga.  Seperti pada masa PPKM 2021 terdapat pemukulan yang dilakukan oleh Satpol PP kepada perempuan pemilik warung kopi di Kabupaten Gowa.

  1. Darurat Agraria

Ketimpangan penguasaan tanah menjadi akar masalah agraria di Indonesia. Watak monopoli tanah oleh perusahaan yang cenderung difasilitasi negara menjadi salah satu dari sekian banyak sumber konflik. Penguasaan tanah oleh korporasi sangat jomplang jika dibandingkan dengan tanah kelola rakyat. Belum lagi dampak dari aktivitas perusahaan seringkali sangat merugikan masyarakat sekitar wilayah perusahaan. Masyarakat yang memperjuangkan wilayah kelola atau kondisi lingkungan yang layak seringkali mendapat represi oleh aparat atau oknum perusahaan.

Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Sulawesi, situasi agraria juga semakin rumit. Berbagai bentuk kekerasan hingga kriminalisasi terhadap orang yang memperjuangkan ruang penghidupannya terjadi sepanjang tahun 2021. Di Gowa, Sulawesi selatan, seorang petani dan aktivis agraria mendapat tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian di atas Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Di Sulawesi Tengah, warga dari beberapa desa di kec. Pamona sedang berjuang melawan PT. Poso Energy yang menguji coba bendungan PLTA pada tahun 2020 dan membuat 85 Ha sawah warga terendam. Hal itu membuat warga tidak bisa menanam padi selama tiga kali musim tanam sepanjang 2020 hingga awal 2021.

  1. Kekerasan dan Extrajudicial Killing di Sulawesi Selatan

Praktik kekerasan hingga extrajudicial killing masih marak terjadi di sepanjang tahun 2021. Dalam penanganan pandemi Covid-19 misalnya, pendekatan represif penuh kekerasan masih sering dipraktekkan oleh aparat negara dalam mengupayakan pembatasan mobilitas masyarakat untuk meminimalisir penyebaran virus. Bukan malah mengupayakan jaminan kebutuhan dasar sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi dan tertuang Undang-Undang Karantina Kesehatan.

Dalam catatan lainnya, KontraS Sulawesi bersama LBH Makassar mencatat setidaknya empat kasus penganiayaan dan pembunuhan di luar hukum yang terjadi beberapa tahun belakangan namun hingga tahun 2021 belum menemui titik terang. Kesemua kasus tersebut terjadi di wilayah hukum Polda Sulawesi Selatan dan diduga kuat pelakunya adalah anggota Polisi dalam menjalankan tugasnya. Proses penyidikan dalam beberapa kasus sudah berjalan namun sangat lambat dan disinyalir sengaja dihambat. Beberapa temuan menunjukkan  bahwa ada upaya menghentikan penyidikan dengan pemberian uang kepada ahli waris korban hingga menjanjikan jaminan kelulusan jika ada keluarga korban yang mendaftar Polisi.

KontraS Sulawesi juga mencatat adanya dugaan penyiksaan yang dilakukan oleh Polisi terhadap dua orang anak yang berhadapan dengan hukum dalam proses pemeriksaan terkait kasus pencurian telepon genggam dan sejumlah uang tunai. Proses penyidikan dan penyelidikan yang seharusnya berjalan dengan prinsip penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia terduga pelaku justru malah sebaliknya. Belum lagi terduga pelaku adalah anak dibawa umur yang sudah seharusnya mendapat perlindungan lebih demi kepentingan masa depan anak.

Catatan di atas menunjukkan bahwa kepolisian dalam hal ini Polda Sulsel gagal memastikan bahwa anggotanya mengimplementasikan peraturan-peraturan internal seperti Peraturan Kapolri tentang HAM, Peraturan Kapolri tentang Manajemen Penyidikan, Peraturan Kapolri tentang Kode Etik sebagai alat utama dalam melakukan proses penegakan hukum berdasarkan nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Proses penyelesaian kasus yang lambat dan cenderung dihambat menunjukkan praktek impunitas yang mengakar kuat dalam institusi kepolisian yang bertentangan dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia dan semangat reformasi institusi kepolisian.

  1. Ancaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi

Hari HAM tahun 2021 juga turut dirayakan oleh Kepolisian RI dengan mengadakan Lomba Orasi yang bagi kami adalah sebuah gimmick semata. Praktek ini juga menjadi bagian dari upaya kanalisasi kebebasan. Berbarengan dengan itu semua, ancaman juga tampak ketika semakin maraknya aksi pembubaran aksi demonstrasi yang dilakukan oleh ormas dan aparat keamanan.  Situasi ini secara singkat menujukkan bagaimana pola perlindungan terhadap kebebasan berpendapat menjadi minim dan terkesan menimbulkan pengabaian oleh Kepolisian RI.

Di Makassar, praktek ini dapat ditelusuri pada tindakan arogan yang dilakukan Ormas terhadap puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Mahasiswa Papua saat berdemonstrasi di Jalan Andi Pangeran Pettarani Makassar, Selasa 26 Oktober 2021 serta pada peristiwa pembubaran aksi peringatan 23 tahun reformasi oleh Fraksi Rakyat Indonesia pada tanggal 21 Mei 2021 oleh ormas. Pembubaran ini dilakukan di tengah banyaknya aparat kepolisian berseragam maupun yang tidak berseragam yang berada di lokasi aksi peringatan 23 tahun reformasi di bawah jembatan layang (Fly Over) kota Makassar.

Tak ada upaya dari aparat kepolisian menghentikan tindakan pengancaman, kekerasan dan pembubaran aksi oleh pelaku, bahkan beberapa anggota polisi juga terlibat meneriaki dan mengancam memukul salah satu massa aksi yang berorasi. Mereka memaksa naik ke mobil komando dan menunjuk-nunjuk salah satu massa aksi yang berorasi. Sangat disayangkan, keberadaan polisi yang dengan jumlah yang cukup tak mengambil tindakan apapun untuk menghalau upaya intimidasi, tindakan kekerasan dan pembubaran aksi yang baru berlangsung sekitar 15 menit.

Merebut Kedaulatan Sipil dan Konsolidasi Gerakan HAM

Pasca dua tahun kepemimpinan Joko Widodo – Ma’ruf Amin yang jatuh pada 20 Oktober 2021, Kontras Sulawesi melihat bahwa situasi dan kondisi demokrasi justru semakin memburuk ditunjukan dengan Negara yang kian abai dengan tanggung jawabnya dalam melindungi, menghormati dan memenuhi HAM sebagaimana mandat konstitusi serta instrumen hukum HAM nasional maupun internasional.

Dalam kasus-kasus diatas, kami bisa menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia dalam dua tahun dibawah kepemimpinan Jokowi telah mengalami kemunduran secara signifikan. Situasi di level juga semakin memburuk, apabila hal ini terus berlanjut dan dibiarkan, maka situasi demokrasi di Indonesia akan berada pada titik nadirnya dan kita mesti mengulang sejarah kekerasan politik di masa lalu.

Upaya pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan HAM di Indonesia mesti dilakukan dengan memastikan pemerintah Jokowi-Ma’ruf Amin konsisten pada janji politik Nawacitanya dan menghapus segala bentuk impunitas yang masih langgeng hingga hari ini. Pertanggung jawaban negara untuk mengungkapkan kebenaran dan mewujudkan keadilan bagi korban-korban pelanggaran HAM dan masyarakat yang tersingkirkan dari berbagai kebijakan pembangunan yang diskriminatif dan eksploitatif mesti dijamin oleh negara.

Komitmen negara untuk memastikan cita-cita reformasi juga perlu terus kita tagih. Salah satunya ialah memastikan reformasi kemanan dan institusi Kepolisian sebagai bagian penting dari negara yang bertugas untuk mengayomi dan memastikan jaminan pemenuhan hukum dan keadilan dapat didapatkan dengan layak.

Kontras Sulawesi percaya bahwa upaya merebut kedaulatan sipil tersebut adalah sebuah perjalanan panjang yang harus dilalui. Hal ini mestinya berbarengan dengan semakin meluasnya konsolidasi dan pendidikan HAM di berbagai level sehingga mampu mewujudkan sebuah tatanan yang adil, berdaulat, dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

 

Makassar, 10 Desember 2021

Badan Pekerja Kontras Sulawesi

Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa: Mendesak Presiden Jokowi Segera Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa
Mendesak Presiden Jokowi Segera Meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa

Menjelang Hari Anti Penghilangan Paksa Internasional, yakni pada hari Rabu, 25 Agustus 2021, Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksaz yang terdiri dari beberapa organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari KontraS, Asia Justice and Rights (AJAR), Amnesty International Indonesia, Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), YLBHI, LBH-Jakarta, ELSAM, Federasi KontraS, KontraS Surabaya, KontraS Sulawesi, KontraS Aceh, LBH-Bandung, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah dan pegiat HAM, mengadakan audiensi terbuka secara daring dengan sejumlah instansi pemerintah dan perwakilan legislatif sebagai ruang mempertemukan komitmen keduanya dalam urgensi ratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa sebagai perlindungan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia, serta berbagi progres kepada publik terkait langkah yang telah dilakukan pemerintah eksekutif dalam menyusun RUU ratifikasi menuju tahap pembahasan di DPR nantinya.

Dalam audiensi ini, Direktur Instrumen HAM Kemenkumham Timbul Sinaga menjelaskan proses yang telah pihaknya lakukan yaitu pada 30 Juli 2021 Kemenkumham telah membuat surat permohonan izin prakarsa penyusunan RUU pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri sesuai mekanisme perundang-undangan. Pihaknya juga menyatakan sudah beberapa kali mengadakan rapat yang cukup intens terkait persiapan ratifikasi ini dengan melibatkan Kemlu, Kemenko Polhukam dan KSP. “Untuk selanjutnya (surat permohonan izin prakarsa dari Kemlu) akan disampaikan kepada Setneg, dan selanjutnya akan dibantu oleh Setneg dan juga KSP supaya izin prakarsa ini segera keluar dan untuk bisa disampaikan di DPR,” jelas Sinaga.

Mewakili Kementerian Luar Negeri, Vienna Adza selaku pejabat Fungsional Diplomat Kementerian Luar Negeri memaparkan bahwa sepanjang 2019 dan 2020 Kemlu sudah memperbaharui naskah akademik yang ada, dan juga melakukan sosialisasi serta menghimpun masukan dari Kementerian/Lembaga, akademisi dan stakeholder lainnya. Adza melanjutkan bahwa terkait proses izin prakarsa yang sedang berlangsung, Kemlu akan bertindak sebagai lembaga pendamping. Sebelum audiensi berakhir, Adza menegaskan, “Surat (permohonan izin prakarsa) sudah ditandatangani oleh Ibu Menlu dan besok akan dikirimkan ke Setneg.

Kemenko Polhukam sebagai koordinator yang mensupervisi proses ini, Analis Hukum Ahli Madya Polhukam Faizal Banu menyatakan pada prinsipnya Kemenko Polhukam akan terus mendorong proses ratifikasi dan mensinergikan sesuai tupoksi dan kewenangannya. Sebagaimana Indonesia sudah berkomitmen bahwa merampas kemerdekaan seseorang secara melawan hukum tidak dapat dibenarkan sejak awal merdeka. “Kita akan mencoba semaksimal mungkin berusaha untuk percepatan ataupun penyelesaian proses peratifikasian Konvensi,” ujar Faisal Banu.

Lebih lanjut mewakili KSP, Mugiyanto menyebutkan bahwa ratifikasi Konvensi ini ialah prioritas pemerintahan Jokowi. Ia mengonfirmasi bahwa Kemenkumham telah menyusun timeline agar izin prakarsa dari Presiden setidaknya keluar pada Oktober 2021 dan dokumen ratifikasi dapat segera diserahkan kepada DPR. Kemudian pada waktu yang tersisa sepanjang November-Desember, pihaknya berharap DPR dapat memproses ratifikasi Konvensi sehingga pada Hari HAM Internasional 10 Desember tahun ini Indonesia sudah menjadi Negara Pihak dari Konvensi Internasional Anti-Penghilangan Paksa. Melanjutkan surat izin prakarsa yang akan dikirimkan Kemlu kepada Setneg, Mugi menyatakan KSP sendiri akan mendorong dan mengawal Setneg agar Surat Presiden perihal RUU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa dapat segera dikeluarkan dan diterima oleh DPR. “Fraksi-fraksi yang ada di DPR mudah-mudahan menyetujui ratifikasi yang diajukan oleh Pemerintah supaya kita segera jadi Negara Pihak dan keinginan kita bersama untuk memiliki instrumen untuk pencegahan tindak penghilangan orang secara paksa ke depan ini bisa terwujud,” tutupnya.

Harapan ratifikasi ini disetujui oleh DPR bukan tanpa latar ironis. Faktanya meski dorongan agar Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Anti-Penghilangan Paksa pertama kali dikeluarkan DPR tahun 2009, namun ketika RUU Ratifikasi Konvensi ini masuk DPR pada tahun 2013, DPR justru menunda pengesahan hingga waktu yang tidak ditentukan dengan alasan membutuhkan waktu untuk konsultasi dan mengkaji ulang. Sejak itu formasi DPR sudah berganti 2 kali di 2014 dan 2019, namun masih belum ada kepastian atau setidaknya kabar, kapan ratifikasi ini akan kembali dibahas di tingkat legislatif.

Menanggapi proses yang tengah berlangsung di eksekutif, KH. Maman Imanulhaq anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKB menyatakan dengan tegas bahwa PKB memberi respon positif terhadap ratifikasi konvensi. “Pada intinya kita sudah satu suara ya, bahwa semangat kita untuk percepatan ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penghilangan Paksa itu memang harus bisa terwujud pada momentum 10 Desember ini,” tuturnya. Selain itu, menurutnya pola percepatan antara Pemerintah dan DPR membutuhkan desakan dari masyarakat sipil, baik melalui surat, media sosial, atau pertemuan langsung dengan fraksi-fraksi terkait di DPR RI.

Pernyataan Kang Maman juga didukung oleh Taufik Basari, anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem yang turut menyatakan kesiapannya mendorong ratifikasi Konvensi ini. Selain itu, menurut Taufik Basari atau kerap disapa Tobas, sosialisasi adalah upaya penting yang harus dilakukan Pemerintah. Ia memaparkan bahwa hambatan pro-kontra pengesahan konvensi di kalangan DPR biasanya terjadi karena kesalahpahaman mengenai Konvensi Anti Penghilangan Paksa yang dapat berimplikasi pada kondisi politik di masa lalu. “Kalau dari TNI/Polri juga menyampaikan dukungan yang kuat dan itu juga sampai ke DPR, tentu akan membantu upaya kita untuk memuluskan jalan persetujuan terhadap ratifikasi Konvensi ini. Jadi tetap kuncinya ada di Pemerintah kalau menurut saya.” tambah Tobas.

Senada dengan hal di atas, Hinca IP Pandjaitan – Komisi III, anggota Baleg DPR dan Sekjen Partai Demokrat sejak Mei 2015, juga menyampaikan komitmen dan dukungan Partai Demokrat dalam meratifikasi Konvensi. Pentingnya isu penghilangan paksa melampaui batas perbedaan siapa koalisi pemerintah atau bukan, melainkan ini tanggungjawab bersama. “Sesungguhnya pada 27 September 2010 yang lalu kita sudah menandatangani Konvensi ini, tapi memang belum meratifikasi. Sehingga bolehlah kita sebut begini Presiden SBY yang memulai, kita harapkan Presiden Jokowi yang menggenapi,” ujarnya. Dalam 95 hari kedepan menuju 10 Desember 2021, Pandjaitan meminta terutama KSP untuk menyiapkan Surat Presiden lebih cepat masuk ke DPR agar pembahasan RUU dapat dilaksanakan di masa sidang legislatif sekarang–yang masih berlangsung hingga Oktober. “Kalau KSP sudah siap, kami tunggu di Parlemen, Senayan. Kapan saja siap,” tegasnya.

Turut hadir anggota Komisi II Fraksi PKS, Nasir Djamil, berkomitmen untuk hal yang sama. Menurutnya, audiensi ini menjadi salah satu upaya masyarakat untuk tidak melupakan hak asasi. Norma HAM masuk dalam amandemen UUD untuk menunjukkan kepada dunia dan masyarakat bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Negara kekuasaan memiliki kebiasaan melupakan bahkan mengubur peristiwa-peristiwa terkait pelanggaran HAM. “Sebenarnya ketika kita konsisten untuk mengimplementasikan dan meratifikasi soal ini, maka itu juga merupakan indikator terkait kemajuan demokrasi, kemajuan peradaban, dan juga kemajuan sebagai negara hukum. Oleh karena itu, negara perlu untuk bersungguh-sungguh agar ratifikasi ini jangan tertunda lagi dan tentu saja Fraksi PKS sebagai salah satu kekuatan politik di parlemen mendorong ini karena yang namanya HAM itu adalah hak yang dia tenteng sejak dia lahir.” tegasnya. “Semakin jauh, semakin lama kita tidak meratifikasi, itu artinya kita tidak punya perasaan lagi. Bayangkan kalau Negara sudah tidak punya perasaan lagi.”

Berbagai pernyataan di atas menunjukkan angin segar kepada masyarakat atas komitmen Negara untuk segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Kami mengapresiasi upaya pemerintah yang tengah berjalan dan akan terus mengawal hingga komitmen Negara untuk meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa segera terealisasi. Oleh karena itu kami mendorong agar:

  1. Menteri Sekretaris Negara segera memproses izin prakarsa;
  2. Presiden segera mengeluarkan Surat Presiden perihal RUU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa dan mengirimkannya kepada DPR;
  3. DPR segera membahas dan mengesahkan UU Pengesahan Konvensi Anti-Penghilangan Paksa.

 

Jakarta, 26 Agustus 2021

Koalisi Sipil Anti Penghilangan Paksa

(KontraS, AJAR, Amnesty International Indonesia, IKOHI, YLBHI, LBH-Jakarta, ELSAM, Federasi KontraS, KontraS Surabaya, KontraS Sulawesi, KontraS Aceh, LBH-Bandung, Inisiatif Sosial untuk Kesehatan Masyarakat, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah)

Tiga Belas Tahun Pasca Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP): Bentuk Komisi Orang Hilang dan Penuhi Hak Korban

Setelah 24 tahun mengalami pelanggaran sistematik, reformasi di Indonesia memberi hawa baik bagi warga Timor untuk menentukan status Timor Timur melalui referendum yang diselenggarakan PBB tahun 1999. Meski demikian, perjalanan ini masih menyisakan duka bagi Timor Leste dimana ribuan anak-anak dari Timor-Leste (sekarang telah dewasa) masih hilang dan putus kontak dengan keluarga mereka selama kurang lebih 40 tahun akibat konflik dengan Indonesia saat itu. Para orang tua di Timor-Leste pun masih mencari anak-anak mereka di Indonesia.

Pemerintah Timor-Leste dan Indonesia dalam perjalanannya, sepakat untuk membentuk komisi bilateral dengan nama Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). Komisi bilateral ini berjalan dari tahun 2005-2008 dengan mandat mengungkap kebenaran konklusif atas kejahatan yang dilakukan pada tahun 1999 baik lewat telaah atas mekanisme judisial dan non-judisial yang telah dilakukan sebelumnya. Komisi ini juga memperkuat fakta Komisi Kebenaran sebelumnya yakni CAVR, bahwa ratusan anak Timor-Leste (saat ini telah dewasa) yang dipindahkan secara paksa ke Indonesia pada periode 1975-1999.

Pada 15 Juli 2008, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) secara resmi telah menyerahkan laporan Per Memoriam ad Spem (Melalui Kenangan Menuju Harapan) kepada Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Penyerahan laporan ini menandakan rampungnya kerja-kerja komisi bilateral ini dalam mengusut kasus orang yang dihilangkan. Dalam laporan akhir tersebut, Komisi menemukan adanya pelanggaran berat HAM di Timor-Timur dalam bentuk kejahatan kemanusiaan dengan tanggung jawab institusional dan kemudian dihasilkan beberapa rekomendasi termasuk persoalan mengenai pemulihan korban.

Hingga hari ini, seruan untuk membentuk komisi bilateral guna mengusut kasus orang-orang yang dihilangkan seperti yang telah direkomendasikan oleh laporan akhir tetap diabaikan oleh kedua negara. Salah satu rekomendasi KKP, yakni membentuk komisi untuk mengusut orang-orang hilang, belum dilaksanakan. Sejak tahun 2013, masyarakat sipil yang tengah menginisiasi pencarian anak yang hilang dan turut membantu mereka untuk reunifikasi dengan keluarganya yang terpisah. Setidaknya, hingga tahun 2021 telah berhasil mempertemukan 160 anak yang hilang dan 80 anak yang telah reuni bersama keluarganya di Timor.

Upaya masyarakat sipil dalam menginisiasi pencarian anak yang hilang seharusnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Indonesia dan Timor Leste dengan membentuk Komisi Orang Hilang sehingga mampu memperbaiki situasi mereka yang masih hilang, memastikan dapat diaksesnya prosedur identifikasi dan kewarganegaraan, serta memberikan pemulihan bagi para korban. Tidak ada lagi alasan untuk menunda pembentukan komisi orang hilang, khususnya bagi Pemerintah Indonesia, karena hal ini juga telah menjadi sorotan Dewan HAM PBB melalui Komite Hak Sipil dan Politik yang pada tahun 2020 meminta laporan kepada Indonesia terkait perkembangan rekomendasi yang dikeluarkan oleh KKP termasuk mencari dan memenuhi hak anak-anak yang dipisahkan antara tahun 1975-1999.

Di tahun 2019, Presiden Timor Leste telah menyatakan dukungannya untuk proses reunifikasi keluarga yang terpisah. Sayangnya dukungan tersebut tidak segera disambut baik oleh Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia pada pemerintahan SBY telah mengeluarkan Perpres No. 72 tahun 2011 untuk mengimplementasikan rekomendasi KKP dalam jangka waktu 5 tahun hingga 2016 dan sepakat melaksanakan Senior Official Meeting (SOM) setiap tahun guna membahas mengenai tindak lanjut rekomendasi. Namun, SOM ini terakhir diadakan di tahun 2015 dan masih banyak juga rencana aksi yang hingga kini belum tuntas. Melihat dampak dan urgensi mencari orang hilang, seharusnya Presiden Jokowi yang kembali terpilih segera memperbaharui Perpres tersebut. Namun selama pemerintahannya, Jokowi tidak kunjung menunjukkan kepeduliannya dengan tidak merevisi aturan tersebut.

Sementara itu, sebagaimana janji di awal Pemerintahannya terhadap korban pelanggaran berat HAM termasuk korban penghilangan paksa, Presiden Jokowi harus segera secara resmi menjawab dukungan Presiden Timor Leste tersebut dan kedua Negara termasuk mengambil tindakan konkret membentuk Komisi pencarian orang hilang untuk membantu menyatukan kembali anak-anak yang diculik dari Timor-Leste dengan anggota keluarga mereka dan membangun kembali kehidupan mereka, serta segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk komitmen negara untuk mencegah keberulangan peristiwa di masa yang akan datang.

Berdasarkan hal tersebut, kami mendesak Presiden Jokowi untuk:

Pertama, secepatnya melangsungkan SOM ke-8 dengan melibatkan partisipasi lembaga seperti Komnas HAM maupun NHRI (National Human Rights Institution) agar rekomendasi di dalam KKP dapat terpantau dengan jelas;

Kedua, mengedepankan agenda pembentukan Komisi Orang Hilang serta pemenuhan HAM korban penghilangan paksa dalam pembahasannya sebagai bentuk akuntabilitas dan pemenuhan hak korban secara menyeluruh;

Ketiga, Presiden Jokowi memperbarui Perpres 72 Tahun 2011 sebagai komitmen awal mengimplementasi Laporan Akhir KKP, mengedepankan usaha pencarian dan pemulihan mereka yang masih hilang, memfasilitasi kunjungan reuni dalam jumlah besar, dan memastikan hak memilih warga negara bagi anak-anak Timor Leste yang diculik, dengan melibatkan masyarakat sipil yang telah sejak awal menginisiasi pencarian ini.

Keempat, Segera meratifikasi konvensi anti penghilangan paksa sebagai bentuk kepastian hukum bagi masyarakat agar terhindar dari segala bentuk kejahatan penghilangan paksa, menciptakan ketidak berulangan kejahatan penghilangan paksa, dan menjadi bentuk pengakuan kolektif bahwa penghilangan paksa merupakan kejahatan kemanusiaan yang serius.

Jakarta, 15 Juli 2021

Kelompok Kerja untuk “Stolen Children”

Asia Justice and Rights (AJAR),

Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS) Sulawesi

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS) Surabaya

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung

Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah

 

Narahubung:

  • AJAR Hotline (087887557599)
  • KontraS (082175794518)

Menyoal Urgensi Komando Cadangan bagi Indonesia

Rilis Tanggapan Kontras Sulawesi
Menyoal Urgensi Komando Cadangan bagi Indonesia

Secara definisi yang dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2019 dan PP No. 3 Tahun 2021, disebutkan bahwa komponen Cadangan adalah Sumber Daya Nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama. Komando Cadangan (Komcad) dikerahkan dalam keadaan perang atau darurat militer. Komcad hanya aktif pada masa pelatihan dan mobilisasi. Sementara mobilisasi komcad dilakukan presiden dengan persetujuan DPR.

Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dipersiapkan secara dini untuk menghadapi ancaman militer, ancaman nonmiliter dan atau ancaman hibrida. Lebih jauh, dijelaskan bahwa ancaman sebagaimana dimaksud dapat berwujud agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serangan siber, serangan nuklir, serangan biologi, serangan kimia, atau wujud ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia.

Persoalan yang Perlu Dikhawatirkan

UU No. 23 Tahun 2019 terkait PSDN sedang dalam proses uji materi di MK setelah digugat oleh sejumlah organisasi HAM dan individu yang mengatasnamakan Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan. UU tersebut dinilai bermasalah baik secara substansial maupun procedural. Salah satu pasal yang disoroti ialah ancama pidana penjara paling lama 2 tahun jika tidak memenuhi panggilan Mobilisasi.

Selain itu, meski sejak awal Presiden Jokowi sudah menegaskan dan melarang komponen cadangan (komcad) digunakan untuk kepentingan selain pertahanan akan tetapi potensi penyalahgunaan masih mungkin terjadi terhadap komcad tidak aktif atau yang telah selesai melakukan pelatihan dengan standar militer.

Hal lain yang perlu disoroti adalah kekhawatiran bahwa satuan warga sipil yang diberi pelatihan militer itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Penegasan Presiden tidak cukup karena Presiden Joko Widodo menetapkan 3.103 orang sebagai Komponen Cadangan atau Komcad Tahun Anggaran 2021. Agenda tersebut dijalankan sesuai dengan UU No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) menyatakan bahwa Komcad, sebagai salah satu usaha pertahanan negara, dapat dikerahkan untuk menanggapi tidak hanya ancaman militer tapi juga ancaman non-militer dan ancaman hibrida.page1image36529920

Ancaman tersebut dianggap menyalahi menyalahi prinsip conscientious objection (hak untuk menolak atas dasar keyakinan) dalam pelibatan warga sipil untuk pertahanan yang diakui dalam norma HAM internasional. UU PSDN ini masih membuka kemungkinan pengerahan Komcad untuk menanggapi hal-hal yang selama ini dianggap pemerintah sebagai ancaman keamanan di dalam negeri, seperti separatisme, komunisme, serta terorisme tanpa jaminan proses hukum yang jelas.

Selain itu, kekhawatiran terkait cara pandang negara yang masih cenderung mendorong pengarahan kekuatan yang berkarakter militerisme dalam kehidupan sosial masyarakat dapat dianggap sebagai cara pandang yang tidak selaras dengan demokrasi dan supremasi sipil. Cara pandang dan pendekatan militeristik cenderung melahirkan respon tindakan kekerasan yang tidak sejalan dalam upaya mewujudkan perdamaian yang bermakna.

Hal lain yang perlu dipastikan ialah jaminan terkait proses perekrutan juga perlu melalui mekanisme dan kriteria yang tidak melanggar nilai-nilai HAM dan berfokus pada isu kemanusiaan. Selain itu, kita perlu secara bersama-sama memastikan jaminan bahwa Komcad pada masa aktif yaitu pada masa Latihan Penyegaran dan Mobilisasi maka yang berlaku adalah Hukum Militer diatur dalam Pasal 46 UU PSDN, terlepas dari masa aktif maka anggota komcad harus tetap patuh pada hukum sipil yang tunduk di bawah kewenangan peradilan umum.

Makassar, 8 Oktober 2021

Badan Pekerja Kontras Sulawesi

Asyari Mukrim