Hentikan Praktek Extrajudicial Killing di Polda Sulsel

Hentikan Praktek Extrajudicial Killing di Polda Sulsel: Tuntaskan Kasus Dugaan Penyiksaan Berujung Kematian Kahar Dg. Sibali

Ancaman tindak kekerasan oleh Kepolisian merupakan momok menakutkan yang semakin mengancam hak-hak masyarakat sipil. Praktik Extrajudicial Killing yang diduga kuat telah dilakukan oleh anggota Polda Sulsel, dengan melakukan penyiksaan terhadap Kahar Dg. Sibali, hingga merenggut nyawanya.

Kahar Dg. Sibali ditangkap pada 24 Juni 2019 tanpa diperlihatkan surat perintah penangkapan. Penangkapan dilakukan oleh Anggota Polres Sinjai dan Resmob Polda Sulsel yang berjumlah 9 (Sembilan) orang diketahui dipimpin oleh IPDA Sangkala. Saat ditangkap, Kahar yang kondisinya terlihat sehat walafiat berdasarkan rekaman CCTV yang diperoleh kemudian dibawa ke Posko Resmob Polda Sulsel.

Ernawati, Adik Kandung Kahar, mendatangi Posko Resmob Polda Sulsel setelah mengetahui penangkapan terhadap adiknya pada pukul 13.00 Wita. Di sana, Ia mendapatkan Informasi dari AIPTU Suta bahwa penangkapan Kahar dalam proses pengembangan.

Sekitar pukul 15.00 Wita, Erna mendapatkan informasi bahwa Kahar telah meninggal dunia dan mayatnya berada di RS Bhayangkara. AIPDA Asmin menyampaikan bahwa Mayat Kahar tiba di RS Bhayangkara pada pukul 11.00 Wita dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Kahar disebutkan juga meninggal karena 2 hal, yaitu karena tembakan dan efek penggunaan narkoba. Erna berupaya untuk melihat mayat Kahar namun tidak diberikan izin oleh AIPDA Asmin.

Pukul 18.00 Wita mayat Kahar Dg. Sibali dibawa ke rumah Hayati. Saat membuka kain penutup mayat, Erna melihat Kahar penuh dengan luka dan lebam, serta bekas tembakan pada bagian lutut.

Erna menduga bahwa kematian adik kandungnya disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan oleh Anggota kepolisian yang menangkap Kahar. Olehnya itu, pada 10 Februari 2020 Erna melaporkan dugaan penyiksaan tersebut ke Polda Sulsel.

Namun, keadilan tidak berpihak kepada Erna. Pada 29 september 2021 terbit SP2HP (A2) dari Polda Sulsel yang mengatakan bahwa penyelidikan akan dihentikan dan tidak ditingkatkan ke tahap penyidikan karena Hayati yang dianggap Istri Kahar oleh Polda Sulsel telah bertanda tangan menolak autopsi. Padahal, istri sah Kahar Dg. Sibali, yaitu nanti beserta anak kandungnya, Muhammad Niko dan Ernawati bersedia jika jenazah Kahar diautopsi.

Berdasarkan Fakta-fakta yang disebutkan di atas, YLBHI-LBH Makassar dan KontraS Sulawesi selaku Pendamping Hukum Pelapor mengecam Polda Sulsel terkait penghentian penyelidikan kasus dengan alasan bahwa keluarga korban menolak untuk autopsi.

a. Pihak Resmob Polda Sulsel dan Polres Sinjai diduga Kuat Melakukan Penyiksaan

Berdasarkan kronologi penangkapan dan bukti yang diperoleh, diduga kuat Kahar Dg. Sibali telah diksiksa hingga meninggal. Berdasarkan bukti CCTV, Kahar ditangkap dalam kondisi sehat dan tidak ada luka di sekujur tubuh dan tidak dalam menyembunyikan dan membawa senjata tajam. Jika pihak kepolisian beralasan bahwa mereka melakukan tindakan kekerasan hingga luka lebam pada bagian tubuh Kahar disebabkan ada tindakan mengancam diri aparat kepolisian, jelas tidak masuk akal. Kedua tangan Kahar diborgol saat ditangkap. Jika hendak melawan dan mengancam nyawa pihak kepolisian, Kahar dapat dilumpuhkan dengan upaya tembakan pada bagian betis. Namun, asumsi tindakan yang membahayakan nyawa aparat sangat tidak masuk akal jika dilihat dari jumlah sumber daya dan kemampuan seorang penyidik dalam melakukan penangkapan. Terlebih lagi terdapat luka-luka disekujur tubuh. Olehnya itu, kami menduga kuat bahwa telah terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap Kahar Dg. Sibali.

b. Permohonan izin kepada keluarga korban guna autopsi bukan norma hukum

Penghentian penyelidikan dengan alasan bahwa pihak keluarga korban menolak untuk dilakukannya autopsi terhadap jenazah Kahar Dg. Sibali dan tidak melakukan tindakan maksimal demi penegakan keadilan hukum bagi keluarga korban jelas melawan peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 120 menyebutkan bahwa dalam hal Penyidik menganggap perlu, Ia dapat meminta pendapat ahli yang memiliki keahlian khusus untuk melakukan visum. Kemudian tegas pada Pasal 133 KUHAP yang berbunyi Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. KUHAP Tidak memerintahkan kepada pihak kepolisian untuk tidak melakukan autopsi jika terdapat keluarga korban yang menolak. Justru, pihak Kepolisian memiliki “kewenangan untuk memaksa” untuk dilakukannya autopsi demi penegakan hukum. Kami menilai bahwa penghentian penyelidikan dengan alasan bahwa keluarga menolak dilakukannya autopsi merupakan upaya yang disengaja untuk tidak melanjutkan proses hukum terhadap terlapor yang merupakan anggota kepolisian aktif Polda Sulsel.

c. Melanggengkan Impunitas dalam Kekerasan oleh Polisi dan Menujukkan Reformasi Kepolisian Mandek

Tidak adanya proses peradilan yang sungguh-sungguh dalam kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan fisik oleh aparat kepolisian yang bernasib serupa. Impunitas dalam kasus-kasus ini menujukkan reformasi kepolisan yang dicitakan POLRI justru mandek, dengan lembaganya yang tetap mempertahan kultur kekerasan. Selain dugaan penyiksaan terhadap Kahar, terdapat sejumlah kasus tercatat yang melibatkan Anggota POLDA SULSEL sebagai terduga pelaku penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Diantaranya adalah kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian Agung Pranata di Makassar. Kasus ini dilaporkan sejak 20 Desember 2016 dan menyeret 5 (lima) orang anggota POLDA SULSEL sebagai tersangka. November 2019 dan pada tahun 2021 dikeluarkan SP3, 4 (empat) anggota Polres Bantaeng diduga terlibat dalam penyiksaan AS (15) dan Sugianto (22) yang menyebabkan kematian Sugianto. Sejak dilaporkan kasus ini belum juga dilimpahkan ke Persidangan. Dan pada 30 Agustus 2020 telah terjadi penembakan di Jalan Barukang yang menyebabkan 2 orang terkena pada bagian betis dan 1 orang terkena pada bagian kepala hingga akhirnya meninggal dunia yang pelakunya diduga dari Polsek Ujung Tanah.

Sebagaimana pada kasus lainnya, penanganan kasus Penyiksaan yang dialami oleh Kahar tidak dilakukan dengan prinsip peradilan yang cepat demi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Justru yang ditemukan adalah pola mengulur-ngulur waktu, upaya mendamaikan korban dengan para pelaku, demi melindungi nama baik instansi kepolisian. Pola tersebut ditempuh dengan cara sistematis mulai dari upaya memalsukan kesaksian keluarga korban, hingga praktik upaya pemberian ‘uang bungkam’, yang difasilitasi oleh kepolisian dengan ujungnya memberi jalan mulus  penghentian penyelidikan.

Untuk itu, berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas, YLBHI-LBH Makassar dan KontraS Sulawesi mendesak

  1. KAPOLRI Cq. KAPOLDA SULSEL yang baru saja dilantik untuk memerintahkan penyidik yang menangani kasus untuk melanjutkan penyelidikan dan segera melakukan autopsi.
  2. Tegakkan prinsip peradilan bersih, cepat, transparan dan akuntabel demi terwujudnya kepastian hukum.

 

Makassar, 02 Desember 2021

YLBHI-LBH Makassar & KontraS Sulawesi

 

Mengurai Benang Kusut Terorisme dan Ekstremisme Kekerasan

Beberapa waktu terakhir, kasus serangan dan aksi teror kembali terjadi di Indonesia. Setidaknya telah terdapat dua kasus penyerangan, pertama adalah pengeboman Gereja Katedral di Makassar oleh pasangan suami istri, serta kasus kedua adalah penembakan di Mabes Polri oleh seorang perempuan. Kejadian ini terjadi pada Maret 2021 dan hanya berselang tiga hari dari serangan pertama dan kedua. Dua kasus ini memberikan peringatan bahwa sesungguhnya jaringan terorisme dengan menggunakan kekerasan masih terus ada.

Teror menggunakan kekerasan di Indonesia bukan hanya terjadi baru-baru ini. Sejak lama negara ini banyak terjadi kasus serupa, mulai dari daya rusak lemah hingga daya rusak kritikal seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom JW Marriot, Bom Kedubes Australia, serta Bom Gereja Santa Anna. Sejak tahun 2000–2021 telah terdapat 533 kasus aksi teror yang terjadi di Indonesia (Laporan Lab45.id, 2021). Kasus tersebut banyak membawa nama agama dan menyerang simbol tertentu.

Kasus-kasus teror dengan menggunakan kekerasan erat dikaitkan dengan violent extremism atau ekstremisme kekerasan. Dari berbagai referensi yang terhimpun, violent extremism didefinisikan sebagai sebuah tindakan mendorong, membenarkan, atau mendukung tindakan kekerasan untuk mencapai tujuan politik, ideologis, ekonomi, sosial, atau agama. Kekerasan ini biasanya dianggap sebagai istilah yang lebih inklusif daripada terorisme, meskipun secara luas hampir sama penggunaannya.

Di berbagai negara violent extremism telah banyak terjadi. Violent extremism telah menggunakan berbagai simbol selama bertahun-tahun untuk memicu perasaan balas dendam dan kebencian. Kekerasan ini paling besar terjadi di Afghanistan, Nigeria, Suriah, Somalia, dan Yaman. Pelakunya berjejaring dan membentuk sebuah organisasi yang tujuannya memberikan teror kepada masyarakat dunia. Organisasi tersebut misalnya Negara Islam Irak dan Syam (NIIS), Jamaah Islamiah, Jamaah Asharut Khilafah (JAK) dan Jamaah Asharut Daullah (JAD) di Indonesia. Hingga sekarang jaringan tersebut belum bisa diputus rantai perkembangannya oleh Negara.

Violent extremism diyakini sangat berdampak buruk pada upaya perdamaian dan kemanusian. Negara harus bertanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak warga negaranya termasuk untuk menciptakan ruang yang aman dari kekerasan tersebut. Selain itu, organisasi masyarakat sipil juga harus berperan dalam mendorong perubahan kebijakan dan mendesiminasi pengetahuan mengenai pencegahan tindak kekerasan ekstremisme dan mempromosikan nilai kemanusian serta toleransi.

Diskusi ini dilaksanakan berdasarkan pembacaan pentingnya pendiskusian mengenai violent extremism agar mengenali kekerasan tersebut secara konseptual serta senantiasa memberikan perhatian dan mendorong peran negara guna memastikan lahirnya upaya yang komprehensif terkiat penanganan aksi ektremisme kekerasan di Indonesia.