Menyoal Urgensi Komando Cadangan bagi Indonesia

Rilis Tanggapan Kontras Sulawesi
Menyoal Urgensi Komando Cadangan bagi Indonesia

Secara definisi yang dijelaskan dalam UU No. 23 Tahun 2019 dan PP No. 3 Tahun 2021, disebutkan bahwa komponen Cadangan adalah Sumber Daya Nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama. Komando Cadangan (Komcad) dikerahkan dalam keadaan perang atau darurat militer. Komcad hanya aktif pada masa pelatihan dan mobilisasi. Sementara mobilisasi komcad dilakukan presiden dengan persetujuan DPR.

Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara dipersiapkan secara dini untuk menghadapi ancaman militer, ancaman nonmiliter dan atau ancaman hibrida. Lebih jauh, dijelaskan bahwa ancaman sebagaimana dimaksud dapat berwujud agresi, terorisme, komunisme, separatisme, pemberontakan bersenjata, bencana alam, kerusakan lingkungan, pelanggaran wilayah perbatasan, perompakan dan pencurian sumber daya alam, wabah penyakit, peredaran dan penyalahgunaan narkoba, serangan siber, serangan nuklir, serangan biologi, serangan kimia, atau wujud ancaman yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik lndonesia.

Persoalan yang Perlu Dikhawatirkan

UU No. 23 Tahun 2019 terkait PSDN sedang dalam proses uji materi di MK setelah digugat oleh sejumlah organisasi HAM dan individu yang mengatasnamakan Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan. UU tersebut dinilai bermasalah baik secara substansial maupun procedural. Salah satu pasal yang disoroti ialah ancama pidana penjara paling lama 2 tahun jika tidak memenuhi panggilan Mobilisasi.

Selain itu, meski sejak awal Presiden Jokowi sudah menegaskan dan melarang komponen cadangan (komcad) digunakan untuk kepentingan selain pertahanan akan tetapi potensi penyalahgunaan masih mungkin terjadi terhadap komcad tidak aktif atau yang telah selesai melakukan pelatihan dengan standar militer.

Hal lain yang perlu disoroti adalah kekhawatiran bahwa satuan warga sipil yang diberi pelatihan militer itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Penegasan Presiden tidak cukup karena Presiden Joko Widodo menetapkan 3.103 orang sebagai Komponen Cadangan atau Komcad Tahun Anggaran 2021. Agenda tersebut dijalankan sesuai dengan UU No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) menyatakan bahwa Komcad, sebagai salah satu usaha pertahanan negara, dapat dikerahkan untuk menanggapi tidak hanya ancaman militer tapi juga ancaman non-militer dan ancaman hibrida.page1image36529920

Ancaman tersebut dianggap menyalahi menyalahi prinsip conscientious objection (hak untuk menolak atas dasar keyakinan) dalam pelibatan warga sipil untuk pertahanan yang diakui dalam norma HAM internasional. UU PSDN ini masih membuka kemungkinan pengerahan Komcad untuk menanggapi hal-hal yang selama ini dianggap pemerintah sebagai ancaman keamanan di dalam negeri, seperti separatisme, komunisme, serta terorisme tanpa jaminan proses hukum yang jelas.

Selain itu, kekhawatiran terkait cara pandang negara yang masih cenderung mendorong pengarahan kekuatan yang berkarakter militerisme dalam kehidupan sosial masyarakat dapat dianggap sebagai cara pandang yang tidak selaras dengan demokrasi dan supremasi sipil. Cara pandang dan pendekatan militeristik cenderung melahirkan respon tindakan kekerasan yang tidak sejalan dalam upaya mewujudkan perdamaian yang bermakna.

Hal lain yang perlu dipastikan ialah jaminan terkait proses perekrutan juga perlu melalui mekanisme dan kriteria yang tidak melanggar nilai-nilai HAM dan berfokus pada isu kemanusiaan. Selain itu, kita perlu secara bersama-sama memastikan jaminan bahwa Komcad pada masa aktif yaitu pada masa Latihan Penyegaran dan Mobilisasi maka yang berlaku adalah Hukum Militer diatur dalam Pasal 46 UU PSDN, terlepas dari masa aktif maka anggota komcad harus tetap patuh pada hukum sipil yang tunduk di bawah kewenangan peradilan umum.

Makassar, 8 Oktober 2021

Badan Pekerja Kontras Sulawesi

Asyari Mukrim

Hentikan Praktek Extrajudicial Killing di Polda Sulsel

Hentikan Praktek Extrajudicial Killing di Polda Sulsel: Tuntaskan Kasus Dugaan Penyiksaan Berujung Kematian Kahar Dg. Sibali

Ancaman tindak kekerasan oleh Kepolisian merupakan momok menakutkan yang semakin mengancam hak-hak masyarakat sipil. Praktik Extrajudicial Killing yang diduga kuat telah dilakukan oleh anggota Polda Sulsel, dengan melakukan penyiksaan terhadap Kahar Dg. Sibali, hingga merenggut nyawanya.

Kahar Dg. Sibali ditangkap pada 24 Juni 2019 tanpa diperlihatkan surat perintah penangkapan. Penangkapan dilakukan oleh Anggota Polres Sinjai dan Resmob Polda Sulsel yang berjumlah 9 (Sembilan) orang diketahui dipimpin oleh IPDA Sangkala. Saat ditangkap, Kahar yang kondisinya terlihat sehat walafiat berdasarkan rekaman CCTV yang diperoleh kemudian dibawa ke Posko Resmob Polda Sulsel.

Ernawati, Adik Kandung Kahar, mendatangi Posko Resmob Polda Sulsel setelah mengetahui penangkapan terhadap adiknya pada pukul 13.00 Wita. Di sana, Ia mendapatkan Informasi dari AIPTU Suta bahwa penangkapan Kahar dalam proses pengembangan.

Sekitar pukul 15.00 Wita, Erna mendapatkan informasi bahwa Kahar telah meninggal dunia dan mayatnya berada di RS Bhayangkara. AIPDA Asmin menyampaikan bahwa Mayat Kahar tiba di RS Bhayangkara pada pukul 11.00 Wita dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Kahar disebutkan juga meninggal karena 2 hal, yaitu karena tembakan dan efek penggunaan narkoba. Erna berupaya untuk melihat mayat Kahar namun tidak diberikan izin oleh AIPDA Asmin.

Pukul 18.00 Wita mayat Kahar Dg. Sibali dibawa ke rumah Hayati. Saat membuka kain penutup mayat, Erna melihat Kahar penuh dengan luka dan lebam, serta bekas tembakan pada bagian lutut.

Erna menduga bahwa kematian adik kandungnya disebabkan oleh penyiksaan yang dilakukan oleh Anggota kepolisian yang menangkap Kahar. Olehnya itu, pada 10 Februari 2020 Erna melaporkan dugaan penyiksaan tersebut ke Polda Sulsel.

Namun, keadilan tidak berpihak kepada Erna. Pada 29 september 2021 terbit SP2HP (A2) dari Polda Sulsel yang mengatakan bahwa penyelidikan akan dihentikan dan tidak ditingkatkan ke tahap penyidikan karena Hayati yang dianggap Istri Kahar oleh Polda Sulsel telah bertanda tangan menolak autopsi. Padahal, istri sah Kahar Dg. Sibali, yaitu nanti beserta anak kandungnya, Muhammad Niko dan Ernawati bersedia jika jenazah Kahar diautopsi.

Berdasarkan Fakta-fakta yang disebutkan di atas, YLBHI-LBH Makassar dan KontraS Sulawesi selaku Pendamping Hukum Pelapor mengecam Polda Sulsel terkait penghentian penyelidikan kasus dengan alasan bahwa keluarga korban menolak untuk autopsi.

a. Pihak Resmob Polda Sulsel dan Polres Sinjai diduga Kuat Melakukan Penyiksaan

Berdasarkan kronologi penangkapan dan bukti yang diperoleh, diduga kuat Kahar Dg. Sibali telah diksiksa hingga meninggal. Berdasarkan bukti CCTV, Kahar ditangkap dalam kondisi sehat dan tidak ada luka di sekujur tubuh dan tidak dalam menyembunyikan dan membawa senjata tajam. Jika pihak kepolisian beralasan bahwa mereka melakukan tindakan kekerasan hingga luka lebam pada bagian tubuh Kahar disebabkan ada tindakan mengancam diri aparat kepolisian, jelas tidak masuk akal. Kedua tangan Kahar diborgol saat ditangkap. Jika hendak melawan dan mengancam nyawa pihak kepolisian, Kahar dapat dilumpuhkan dengan upaya tembakan pada bagian betis. Namun, asumsi tindakan yang membahayakan nyawa aparat sangat tidak masuk akal jika dilihat dari jumlah sumber daya dan kemampuan seorang penyidik dalam melakukan penangkapan. Terlebih lagi terdapat luka-luka disekujur tubuh. Olehnya itu, kami menduga kuat bahwa telah terjadi penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap Kahar Dg. Sibali.

b. Permohonan izin kepada keluarga korban guna autopsi bukan norma hukum

Penghentian penyelidikan dengan alasan bahwa pihak keluarga korban menolak untuk dilakukannya autopsi terhadap jenazah Kahar Dg. Sibali dan tidak melakukan tindakan maksimal demi penegakan keadilan hukum bagi keluarga korban jelas melawan peraturan perundang-undangan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 120 menyebutkan bahwa dalam hal Penyidik menganggap perlu, Ia dapat meminta pendapat ahli yang memiliki keahlian khusus untuk melakukan visum. Kemudian tegas pada Pasal 133 KUHAP yang berbunyi Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. KUHAP Tidak memerintahkan kepada pihak kepolisian untuk tidak melakukan autopsi jika terdapat keluarga korban yang menolak. Justru, pihak Kepolisian memiliki “kewenangan untuk memaksa” untuk dilakukannya autopsi demi penegakan hukum. Kami menilai bahwa penghentian penyelidikan dengan alasan bahwa keluarga menolak dilakukannya autopsi merupakan upaya yang disengaja untuk tidak melanjutkan proses hukum terhadap terlapor yang merupakan anggota kepolisian aktif Polda Sulsel.

c. Melanggengkan Impunitas dalam Kekerasan oleh Polisi dan Menujukkan Reformasi Kepolisian Mandek

Tidak adanya proses peradilan yang sungguh-sungguh dalam kasus ini menambah daftar panjang kasus kekerasan fisik oleh aparat kepolisian yang bernasib serupa. Impunitas dalam kasus-kasus ini menujukkan reformasi kepolisan yang dicitakan POLRI justru mandek, dengan lembaganya yang tetap mempertahan kultur kekerasan. Selain dugaan penyiksaan terhadap Kahar, terdapat sejumlah kasus tercatat yang melibatkan Anggota POLDA SULSEL sebagai terduga pelaku penganiayaan dan penyiksaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa. Diantaranya adalah kasus penyiksaan yang menyebabkan kematian Agung Pranata di Makassar. Kasus ini dilaporkan sejak 20 Desember 2016 dan menyeret 5 (lima) orang anggota POLDA SULSEL sebagai tersangka. November 2019 dan pada tahun 2021 dikeluarkan SP3, 4 (empat) anggota Polres Bantaeng diduga terlibat dalam penyiksaan AS (15) dan Sugianto (22) yang menyebabkan kematian Sugianto. Sejak dilaporkan kasus ini belum juga dilimpahkan ke Persidangan. Dan pada 30 Agustus 2020 telah terjadi penembakan di Jalan Barukang yang menyebabkan 2 orang terkena pada bagian betis dan 1 orang terkena pada bagian kepala hingga akhirnya meninggal dunia yang pelakunya diduga dari Polsek Ujung Tanah.

Sebagaimana pada kasus lainnya, penanganan kasus Penyiksaan yang dialami oleh Kahar tidak dilakukan dengan prinsip peradilan yang cepat demi terwujudnya keadilan dan kepastian hukum. Justru yang ditemukan adalah pola mengulur-ngulur waktu, upaya mendamaikan korban dengan para pelaku, demi melindungi nama baik instansi kepolisian. Pola tersebut ditempuh dengan cara sistematis mulai dari upaya memalsukan kesaksian keluarga korban, hingga praktik upaya pemberian ‘uang bungkam’, yang difasilitasi oleh kepolisian dengan ujungnya memberi jalan mulus  penghentian penyelidikan.

Untuk itu, berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan di atas, YLBHI-LBH Makassar dan KontraS Sulawesi mendesak

  1. KAPOLRI Cq. KAPOLDA SULSEL yang baru saja dilantik untuk memerintahkan penyidik yang menangani kasus untuk melanjutkan penyelidikan dan segera melakukan autopsi.
  2. Tegakkan prinsip peradilan bersih, cepat, transparan dan akuntabel demi terwujudnya kepastian hukum.

 

Makassar, 02 Desember 2021

YLBHI-LBH Makassar & KontraS Sulawesi